Senin, 11 Juli 2011

JUAL BELI KREDIT


TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG JUAL BELI RUMAH DAN TANAH SISTEM KREDIT
A.    Pendahuluan
1.      Pengertian Jual Beli Sistem Kredit
Kredit berasal dari kata Itali, cedere yang berarti kepercayaan. Kepercayaan yang dimaksud di dalam perkreditan adalah antara si pemberi dan si penerima kredit. Kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang dan barang) dengan balas prestasi yang akan terjadi pada waktu mendatang. [1]
Kerdit adalah sesuatu yang dibayar secara berangsur-angsur baik itu jual beli maupun dalam pinjam meminjam. Misalnya, seorang membeli ke sebuah dealer dengan uang muka 10 % dan sisanya dibayar secara berangsur-angsur selama sekian tahun dan dibayar satu kali dalam sebulan. Kredit bisa juga terjadi pada seseorang yang meminjam uang ke bank atau koperasi, kemudian pinjaman tersebut dibayar berangsur-angsur, ada yang dibayar setiap hari, mingguan, dan ada pula yang dibayar satu kali dalam sebulan.
Menurut UU No. 7 Tahun 1992 tentang pokok-pokok Perbankan, pengertian kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman-pinjaman antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.
Bank yang berpedomannya adalah memperoleh hasil yang setinggi-tingginya dari uang yang dipinjamkan tanpa mempersoalkan penggunaan kredit yang diberikannya. [2]
Dengan mengambil inti sari kredit pada Perbankan, Jual Beli Sistem Kredit adalah Jual beli yang pembayaranya ditangguhkan (dilakukan secara berangsur-angsur). [3]
Salah satu kegiatan bank yang tidak lepas dari bunga ialah penyediaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Dalam penyelenggaraan kredit pemilikan rumah terlibat unit-unit usaha lain, seperti perseroan Terbatas (PT) yang melaksanakan penyediaan lokasi tanah dan pembangunan rumah.
Hal-hal yang ditetapkan oleh penyelenggara KPR antara lain harga jual kontan, uang muka, suku bunga, angsuran bulanan dan beban-beban lain yang harus dibayar oleh pembeli (debitur) misalnya biaya penyambungan listrik, provisi bank dan biaya notaris. Untuk memperjelas lihat contoh di halaman terakhir dilampirkan, sebagai contoh, kerdit pemilikan rumah Bank Tabungan Negara (KPR-BTN) yang penyelenggaraan proyek pembangunan perumahanya dilaksanakan oleh PT. Pelangi Buana Utama.

2.      Pokok Permasalahan Jual Beli Sistem Kredit
Jual Beli Sistem Kredit bukan isu baru melainkan sudah terkenal dimana-mana. Jual beli sistem kredit dianggap sebagai salah satu cara seseorang untuk memiliki barang dengan mengkredit (angsuran). Mencemarti kasus bila dilihat dari hukum islam maka yang menjadi masalah adalah model jual beli tidak kontan (kredit) dengan pembayaran secara berangsur-angsur. Dan yang menjadi masalah lebih besar lagi ialah kenaikan harga rumah dan tanah dengan menggunakan sistem prosentasi (bunga), seperti 9 %, 12 %, 15 % per tahun. [4]
Bolehkah melaksanakan transaksi seperti ini menurut syari’at islam?

B.     Tinjauan Hukum Islam Jual Beli Rumah dan Tanah Sistem Kredit
a.       Konsep Jual Beli Sistem Kredit dalam Fiqh
Di dalam fiqh jual-beli dengan pembayaran tidak tunai disebut dengan bai’ul al-ajal (jual beli tidak kontan). Pembayarannya mungkin diangsur mungkin sekaligus, mungkin pula ada uang muka (voorschot).
Mengenai jual beli voorschot (bai’al urbun, jual beli dengan uang muka), jumhur ulama Anshar mengatakan tidak boleh. Alasanya ialah karena jual beli tersebut termasuk mengandung kesamaran, pertaruhan dan terdapat unsur memakan harta orang lain tanpa imbalan. Ada dua motif yang dijadikan dasar larangan Jual-beli jenis ini (bai’al urbun), diantaranya:
1)      Bahawa apa yang dibayarkan sebagai voorschot itu akan hilang sia-sia apabila ternyata pihak pembeli tidak meneruskan pembelainya atas barang tersebut.
2)      Syarat barang tersebut akan kembali kepada si penjual manakala ternyata penjual tidak ingin melanjutkan menjual barang tersebut.
Dari golongan tabi’in yang membolehkan antara lain Mujahid, Ibnu Sirin, Nafi bin al-Harst dan Zaid bin Aslam. [5]
Ibnu Rusdy memberi contoh jual beli sistem kredit (bai’u al-ajal) seperti: seorang menjual barang dengan harga tertentu sampai masa tertentu, kemudian ia membelinya kembali dengan harga lain sampai masa tertentu yang lain lagi, atau dengan harga kontan. Sehubungan dengan adanya perubahan waktu itu harga bisa berubah. Ia membelinya dengan cash (kontan) sebelum masanya dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang sebenarnya, atau membelinya dengan harga yang telah jauh dari pada masa tersebut dan dengan harga yang lebih besar dari pada yang sebenarnya. [6]
Seorang muslim diperbolehkan membeli barang dengan membayar harganya secara kontan, atau menangguhkanya hingga waktu tertentu (kredit), yang penting suka sama suka. Suatu ketika Nabi saw. Membeli makanan dari seorang Yahudi untuk menghidupi keluarganya, dengan pembayaran kredit. Beliau juga pernah mengadaikan baju besinya kepada si Yahudi itu.
Apabila si penjual menaikan harga karena penundaan pembayaran, seperti yang biasa oleh kebayakan pedagang yang menjual dengan pembayaran angsuran, sebagai ahli fiqh mengharamkanya dengan alasan bahwa itu merupakan tambahan nilai harta dengan kompensasi waktu. Ini mirip dengan riba. [7]
Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama ahli fiqh:
1)      Jumhur Ulama ahli Fiqh, seperti Abu Hanifah, Muhammad bin Idris (As-Syafi’i), Said bin Ali, Dawud, Abu Tsaur dan Muayyid Bilahi berpendapat bahwa jual beli yang pembayaranya ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk pihak penjual. Karena penangguhan itu adalah harga mereka melihat pada dalil umum yang membolehkan. [8] Menurut Jumhur menetapkan bahwa seorang pedagang boleh menaikan harga menurut yang pantas. Karena pada asalnya dalam urusan muamalat boleh selagi belum ada nash yang mengharamkanya. Sebaliknya kalau sampai pada batas kedzaliman maka hukumnya berubah menjadi haram.
2)      Sebagian ulama mengharamkan seperti Imam Malik dan lain-lain, menurut mereka bahwa penambahan harga itu dikaitkan dengan masalah waktu dan hal itu berarti tidak ada bedanya dengan riba. Pendapat lainya yang senada mengatakan bahwa upaya menaikan harga diatas yang sebenarnya lantaran kredit (penangguhan pembayaran) lebih dekat kepada riba nasi’ah (harga tambahan) dan jelas-jelas dilarang dalam nash. [9]
b.      Hukum Jual Beli Kredit Perumahan Dan Tanah
Dari uraian diatas tampak bahwa di dalam fiqh dikenal adanya jual beli dengan pembayaran kemudian (bai’al ajl) dan jual beli uang muka (bai’al urbun). Pembayaran atau harga bisa lebih rendah kalau pembelian den pembayaran dilakukan dalam waktu lebih cepat. Sebaliknya bila tenggang waktu lebih lama maka harga bisa lebih tinggi. Mengenai hukumnya, ada ulama yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan.
Jual beli sistem kredit pemilikan rumah adalah sistem penjualan yang fleksibel, dalam arti harga bisa lebih rendah bila dibeli kontan atau diangsur dalam waktu yang lebih pendek. Sebaliknya bila diangsur dalam waktu yang lebih lama, harga lebih tinggi.
Perbedaan jual beli sistem kredit pemilikan rumah di Indonesia dangan fiqh terletak pada penentuan kenaikan harga. Dalam fiqh tidak ditentukan berdasarkan prosentasi (bunga), dalam KPR ditentukan berdasar prosentasi, seperti 9 %, 12 % dan 15 %. Penentuan bunga seperti inilah menjadi persoalan jika dilihat dari hukum islam. Turun naiknya harga pada kedua sistem itu jelas ada. Karena itu, soal bertambahnya harga sebabkan jangka waktu yang lebih panjang adalah soal yang rasional dan hukumnya boleh. Menurut Jumhur fuqaha waktu sangatlah berharga sehingga karena mempertimbangkan jangka waktu pembayaran, maka harga hutang (kredit) lebih tinggi dari pada harga tunai. [10] Menurut Hasan bahwa jual beli sistem kredit dengan harga tertentu yang lebih tinggi dari pada harga cash harus dilihat sebagai akad yang berdiri sendiri, demikian pula halnya dengan jual beli tunai dengan harga yang lebih rendah, yang penting kedua belah pihak sama-sama rela. [11] Dengan demikian kenaikan harga dalam jual beli tidak dilarang (boleh), asal tidak terdapat penipuan.
Jual beli perumahan model KPR mengandung riba, yang termasuk riba khafi. Hukumnya haram lisaddi al-zari’ah. Tetapi karena sangat bermanfaat dan dibutuhkan oleh golongan ekonomi lemah, maka hukumnya menjadi boleh atas dasar hajat atau maslahat. [12]
a)      Turun atau naiknya harga dalam jual beli adalah halal.
b)      Kenaikan harga KPR terkendalikan oleh pelaturan yang dikeluarkan lembaga berwenang.
c)      Sistem KPR membantu kaum ekonomi lemah.
d)     Tambahan harga (bunga) tidak termasuk lipat ganda, tetapi rendah, perbulan berkisar antara 0,8 % - 1,25 %.
e)      Jual beli sistem ini bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada pembeli yang tidak mampu melakukan pembayaran secara tunai.

C.    Kesimpula
Dari Uraian pembahasan dalam makalah ini dapat diambil benang merah sebagai berikut:
1)      Riba ada yang ditetapkan hukumnya dengan ayat al-Qur’an dan ada yang ditetapkan dengan hadis. Para ulama umumny berpendapat bahwa semua riba, baik besar maupun kecil, hukumnya haram. Ada yang berpendapat, yang diharamkan al-Qur’an hanya riba yang berlipat ganda. Sesuai pendapat Hasan diatas jual-beli tersebut antara pihak saling rela (ridha).
2)      Bunga bank ada yang mengharamkan karena sama dengan riba, ada yang menghalalkan karena tidak sama dengan riba, dan ada juga yang membolehkan karena dharurat.
3)      Kredit pemilikan rumah mengandung unsure riba khafi, karena dalam penentuan kenaikan harga menggunakan sistem prosentasi (bunga). Karena riba khafi, kredit pemilikan rumah dibolehkan karena hajat atau maslahat.


DAFTAR PUSTAKA
Aibak, Khutbuddin. Kajian Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Teras, 2009.
Aziz, Jamal Abdul. Dikotomi Ibadat dan Adat Dalam Hukum Islam. Purwokerto: STAIN Press, 2009.
Hasibuan, Malayu S.P. Dasar-Dasar Perbankan. Cet. VI. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007.
Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid, terj. M. A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah. Semarang: CV. Asy-Syifa, 1990.
Imam Muhamad Asy-Syaukani. Nailul Authar, terj. Adib Bisri Mustofa dkk. Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994.
O.P. Simorangkir. Pengantar Lembaga Keuangan Bank Dan Nonbank. Cet.II.  Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.
Qardhawi, Yusuf. Halal Haram Dalam Islam, terj. Wahid Ahmadi, Jasmin, Khozin Abu Faqih, dan Kamal Fauzi. Cet. III. Solo: Era Intermedia, 2005.
Sabiq, Sayid. Fiqhu As-Sunnah, terj. Jakarta: Pena Pundi Askara, 2008.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Cet. V. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010.
Sukarja, Ahmad., et al. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Editor: Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ. Cet. II. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1997.


[1] O.P. Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan Bank Dan Non Bank, Cet. II (Bogor: Ghalia, 2004), hal. 100. Malayu S.P. Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan, Cet. VI (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), hal. 87.
[2] Ibid, hal. 101.
[3] Khutbuddin Aibak, Kajian Fikih Kontemporer (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 216.
[4] Ahmad Sukarja, et al., “Problematika Hukum Islam Kontemporer”, Editor Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Cet. II (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1997), hal. 51.
[5] Ibid, hal 52.
[6]Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid, terj. M. A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1990), hal. 32-37,  Jilid: III.
[7] Yusuf Qardhawi, Halal Haram: Dalam Islam, terj. Wahid Ahmadi, Jasmin, Khozin Abu Faqih, dan Kamal Fauzi, Cet. III (Solo: Era Intermedia, 2005), hal. 377.
[8] Syaukani Berkata: “Kami telah menulis risalah tentang ini dengan judul Syifa’ul ‘illal: Fi Hukmi Ziyadatits Tsaman Limujarradil Ajal (hukum menambah harga hanya karena kredit). Imam Muhamad Asy-Syaukani, Nailul Authar, terj.  Adib Bisri Mustofa dkk (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994), hal. 478-481, Jilid: V. Hadis Nabi yang artinya: “Apa-apa yang berhubungan dengan ibadat kamu, hendaklah kamu kembalikan padaku; dan apa-apa yang berhubungan dengan masalah duniamu, maka kamu lebih tahu itu.” (H.R Ahmad)
[9] Khutbuddin Aibak, hal. 216. Menurut Imam Syafi’i hadits yang dijadikan pedoman lemah dari segi perawinya. Dengan demikian Nabi tidak melarangnya. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. V ( Jakarta: PT. RajaGarafindo Persada, 2010), hal. 80.
[10] Jamal Abdul Aziz, Dikotomi Ibadat dan Adat (Purwokerto: STAIN Press, 2009), hal. 214.
[11] Ibid, hal. 214-215. Dan Sayid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, terj. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), hal. 41, Jilid: IV. Dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan bathil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka.” (An-Nisa: 29)
[12] Ahmad Sukarja, et al., hal. 52-53.

WAKAF TANAH

WAKAF TANAH DI INDOSESIA

A.    Wakaf Tanah Di Indonesa
      Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, tanah menempati kedudukan penting dalam kehidupan mereka sehari-hari. Terlebih lagi bagi rakyat pedesaan yang pekerjaan pokoknya bertani, berkebun atau berladang, tanah merupakan tempat pergantungan hidup mereka.
      Menyadari betapa pentingnya permasalahan tanah di Indonesia, maka pemerintah bersama DPR-RI telah menetapkan Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yaitu UU. No. 5 tahun 1960 disahkan tanggal 24 September 1960. Dalam konsidernya pada bagian berpendapat, huruf  b  disebutkan:
      Bahwa berhubungan dengan apa yang disebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya hukum agrarian nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengakibatkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
      Sehubungan dengan hal ini, pasal 14 ayat (1) huruf b UUPA tersebut menentukan bahwa pemerintah Indonesia dalam rangka sosialisme indonesia, membuat rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam peruntukan seperti dimaksud diatas, termasuklah untuk keperluan-keperluan suci lainya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
      Secara khusus, keperluan yang termasuk kepentingan agama/peribadatan ini disebut dalam pasal 49 ayat (3) UUPA yang menegaskan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah. Sedangkan ayat (1) sebelumnya menyatakan: “hak milik badan-badan keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial”. Dan sebagai realisasi dari ketentuan ini, kemudian dikeluarkanlah peraturan pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah milik, yang ditetapkan tanggal 17 Mei 1977. Sebelumnya, pasal 19 ayat (1) UUPA mengatur bahwa “Untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah”.
      Di dalam hukum islam dikenal banyak cara untuk mendapatkan hak atas tanah. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui: Jual beli, tukar menukar, hibah, hadiah, infak, sedekah, wakaf, wasiat, ihya-ulmawat (membuka lahan baru).
      Diantara banyak title perolehan atau peralihan hak yang dikenal dalam hukum islam tersebut, maka ternyata wakaf mendapat tempat pengaturan secara khusus diantara perangkat perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini berbentuk peraturan pemerintah. Dengan demikian wakaf merupakan salah satu lembaga hukum islam yang mempunyai titik temu secara konkrit dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Karena itu adalah sangat menarik untuk menelaah masalah ini lebih lanjut dengan mencoba menelusuri kenyataan atau praktek yang terjadi.
      Walaupun PP No. 28 Tahun 1977 sampai sekarang sudah berjalan lebih dari 10 tahun, namun ternyata masih banyak ditemukan berbagai hambatan dalam pelaksanaanya. Dalam konsiderannya pada bagian “menimbang” huruf b PP No. 28 tahun 1977 disebutkan:
      Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini mengatur tentang perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan, juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan.
      Yang menjadi latar belakang dikeluarkanya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 itu adalah:
1.      Pada waktu yang lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah selain dari  belem memenuhi kebutuhan, juga tidak diatur secara tuntas dalam satu peraturan perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakikat dan tujuan wakaf itu sendiri. Bahkan benda-benda wakaf itu sendiri menjadi milik ahli waris pengurus (nadzir) wakaf bersangkutan.
2.      Menimbulkan keresahan di kalangan umat islam yang menjurus pada perasaan antipati terhadap lembaga wakaf.
3.      Dalam masyarakat banyak terjadi persengketaan mengenai tanah wakaf. [1]

B.     Sistematika Peraturan Perwakafan Tanah Di Indonesia
1.      Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
            Peraturan pemerintah tentang perwakafan tanah milik ini terdiri dari tujuh bab, delapan belas pasal, dengan susunan sebagai berikut: Bab I ketentuan umum yang berisi definisi tentang wakaf, wakif, ikrar dan nadzir. Bab II berjudul fungsi wakaf terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama memuat rumusan tentang fungsi wakaf, bagian kedua unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, bagian ketiga kewajiban dan hak-hak nadzir. Bab III tentang tata cara mewakafkan dan pendaftaranya, terdiri dari dua bagian. Bagian pertama mengenai tata cara perwakafan tanah milik, bagian kedua tentang pendaftaran tanah milik. Bab IV tentang perubahan, perselisihan dan pengawasan perwakafan tanah milik. Bab V tentang ketentuan pidana. Bab VI ketentuan peralihan dan Bab VII ketentuan penutup.
2.      Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977
            Peraturan menteri dalam negri tentang pendaftaran tanah mengenai perwakafan tanah milik ini ierdiri sebagai berikut: Bab I, Ketentuan umum memuat peryataan bahwa tanah yang diwakafkan harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik, PPAIW, bentuk akta ikrar wakaf, dan biaya-biaya pembuatan Akta ikrar wakaf dan para saksi. Bab II, tentang pendaftaran dan pencatatan perwakafan tanah hak milik, Bab III mengenai biaya pendaftaran dan pencatatan dalam sertifikat. Bab IV ketentuan peralihan dan Bab V ketentuan yang menjelaskan tentang mulai berlakunya peraturan menteri dalam negri itu.
3.      Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978
            Peraturan menteri agama tentang pelaksanaan peraturan pemerintah mengenai perwakafan tanah milik ini terdiri dari sepuluh bab, dua puluh pasal. Susunanya adalah sebagai berikut: Bab I ketentuan umum memuat rumusan berbagai istilah dalam perwakafan. Bab II mengenai ikrar wakaf dan aktanya. Bab III tentan pejabat pembuat akta ikrar wakaf yaitu kepala kantor urusan agama dan tugasnya sebagai pejabat pembuat akta ikrar wakaf. Bab IV tentang nadzir, kewajiban dan haknya. Bab V perubahan perwakafan tanah milik, Bab VI tentang pengawasan dan bimbingan. Bab VII tata cara pendaftaran wakaf yang terjadi sebelum peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1977 diundangkan, Bab VIII tentang penyelesaian perselisihan perwakafan, Bab IX biaya dan Bab X ketentuan penutup.
4.      Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor 75 Tahun 1978
            Peraturan Direktur jendaral bimbingan masyarakat islam tentang formulir dan pedoman pelaksanaan peraturan-peraturan tentang perwakafan tanah milik ini terdiri dari lima pasal dengan dua kelompok lampiran. Lampiran I berisi 14 bentuk folmulir yang dipergunakan dalam perwakafan tanah milik. Lampiran II memuat petunjuk pelaksanaan mengenai perwakafan yang meliputi:
1)      Tata cara perwakafan tanah milik
2)      Surat-surat yang harus dibawa dan diserahkan oleh wakif kepada PPAIW
3)      PPAIW: penunjukan dan tugas-tugasnya
4)      Nadzir, kewajiban dan haknya
5)      Biaya adimistrasi dan pencatatan tanah wakaf
6)      Tata cara pendaftaran tanah wakaf yang terjadi sebelum PP. No. 28 Th 1977
7)      Penyelesaian perselisihan perwakafan.

C.    Prosedur Perwakafan Tanah Milik
      Prosedur untuk mewakafkan tanah tentunya diatur agar perwakafan tanah bisa berjalan dengan tertib, tatacaranya adalah sebagai berikut:
1)      Seseorang atau badan hukum yang hendak mewakafkan tanahnya (wakif) datang sendiri  kepada PPAIW untuk melaksanakan kehendaknya. [2]
a.       Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan.
b.      Surat keterangan kepala desa yang diperkuat oleh camat setempat mengenai kebenaran pemilikan tanah.
c.       Surat ketarangan pendaftaran tanah.
d.      Izin bupati/walikotamadya dalam hal ini Kepala Subdirektorat Agraria setempat.
2)      Surat-surat yang dibawa calon wakif itu diperiksa lebih dahulu oleh PPAIW
3)      Di hadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengucapkan ikrar wakafnya kepada nadzir dengan ucapan yang jelas.
4)      Akta ikrar wakaf yang dibuat PPAIW itu adalah otentik.
      Disamping tata cara di atas wakaf harus memenuhi persyaratan yang termuat dalam fiqh.
1)      Yang membuat wakaf harus mempunyai hak penuh (menurut hukum adat) atas apa yang diwakafkan.
2)      Benda yang diwakafkan harus ditunjuk dengan terang dan maksudnya harus jelas.
3)      Mereka yang diberikan wakaf harus disebut dengan terang.
4)      Tujuannya tetap
5)      Yang mendapat wakaf harus menerima (Kabul).
Pendaftaran Wakaf Tanah Milik
      Pendaftaran tanah wakaf ditentukan dalam PP dan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 (PMDN). Tata cara pendaftaranya pada Subdirekorat Agraria Kabubaten/kotamadya setempat sebagai berikut:
1)      PPAIW, atas nama nadzir, mengajukan surat permohonan pendaftaran tanah kepada Kepala Kantor Subdirektorat Agraria setempat.
a.       Setifikat tanah yang bersangkutan
b.      Akta Ikrar Wakaf
c.       Surat pengesahan nadzir
2)      Kepala Subdirektorat Agraria Kabubaten/kotamadya, setelah menerima surat permohonan dari PPAIW dan meneliti surat dan lampiran surat permohonan.
3)      Setelah perwakafan tanah dicatat pada buku tanah dan sertifikatnya, maka Kepala Subdirektorat Agraria setempat menyerahkan sertifikat itu kepada nadzir yang wajib melaporkan hal itu kepada PPAIW untuk dicatat dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf di kecamatan.
Perubahan Penggunaan dan Setatus Tanah Wakaf
      Tata cara perubahan setatus dan perubahan penggunaan tanah wakaf adalah sebagai berikut:
1)      Nadzir wakaf bersangkutan memajukan permohonan perubahan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Islam, melalui kantor urusan agama kecamatan dan kantor kementerian agama kabubaten/kotamadya dengan menyebut jelas alasan-alasan permohonan perubahan itu.
2)      Kepala kantor Urusan Agama kecamatan menerusakan permohonan itu ke Kepala kantor kementerian agama kabubaten/kotamadya yang meneruskan permohonan itu kepada Kepala kantor wilayah kementerian agama, masing-masing diiringi dengan pertimbangan.
3)      Setelah permohonan diterima dan dipelajari, kepala bidang urusan agama islam pada kantor wilayah kementerian agama atas nama kepala kantor tersebut menolak atau menyetujui permohonan perubahan penggunaan tanah wakaf itu.
4)      Apabila permohonan perubahan itu mengenai setatus tanah wakaf misalnya untuk kepentingan umum karena tanah itu akan dijadikan jalan raya atau waduk, maka permohonan perubahan setatus itu diteruskan oleh kepala kantor wilayah kementerian agama dan kepada menteri agama.
5)      Setelah mendapat persetujuan dari kepala bimas untuk perubahan penggunaan tanah wakaf atau dari Dirjen Bimas islam dan urusan haji untuk perubahan setatus, nadzir wakaf bersangkutan wajib segera melaporkan hal itu kepada bupati/walikotamadya, dalam hal ini Kepala Subdirektorat Agraria Kabubaten untuk memperoleh penyelesaian pendaftaran perwakafan itu lebih lanjut.
Penyelesaian Perselisihan Perwakafan
      Menurut pasal 12 PP, penyelesaian perselisihan yang menyangkut persoalan pewakafan tanah dilakukan oleh Pengadilan Agama setempat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Yang termasuk dalam yurisdiksi Pengadilan Agama adalah:
1.      Masalah sah atau tidaknya perbuatan perwakafan menurut PP
2.      Masalah-masalah lain yang menyangkut masalah wakaf berdasarkan syari’at islam.
3.      Pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf.



DAFTAR PUSTAKA

Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia: Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 2006.

Suhadi, Imam, Wakaf: Untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002.









[1] Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf  (Jakarta: UI-Press, 2006), hal. 99-100
[2] Ibid, hal. 116