Senin, 11 Juli 2011

PUTUSNYA PERKAWINAN

KONSEP PUTUSNYA PERKAWINAN DALAM FIQH KLASIK DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
A.    Pendahuluan
Tujuan pernikahan tidak lain untuk membina keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Tujuan inilah yang ideal dan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap insan. Namun, untuk mencapai tujuan pernikahan ini tidaklah mudah banyak sekali krikil tajam yang menjadi sandungan dalam mencapai cita-cita suatu perkawinan. Jangankan kebahagiaan, terkadang malahan percecokan dan permusuhan yang berujung penderitaan. Perceraian merupakan jalan keluar agar penderitaan kedua belah pihak bisa berakhir. Akan tetapi, perceraian dalam konsep fiqh klasik dan Undang-undang perkawinan agak berbeda. Maka dari itu penulis ingin membandingkan bagaimana aplikasi perceraian dalam fiqh klasik dan undang-undang perkawinan. Dalam pembahasan ini penulis memfokuskan pada permasalahan thalaq.

B. Konsep Putusnya Perkawinan Dalam Fiqh Klasik Dan Undang-Undang Perkawinan
a.      Konsep Thalaq Fiqh Klasik
1.      Definisi Thalaq
      Thalaq menurut bahasa (etimologi) dari kata “ithlaq”, artinya melepaskan atau meninggalkan”.
      Sedangkan meurut istilah (terminology) thalaq adalah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”. [1]
      Perceraian dalam arti umum yang dibedakan atas thalaq dan fasakh, dalam bahasa Arab disebut: furqah, jamaknya furuq; Furaquz zawaj, berarti putusnya suatu perkawinan. Maka dari itu tidak semua perceraian itu thalaq, tetapi thalaq itu sebagian dari perceraian. [2]
      Thalq mengandung dua arti, sebagai berikut:
1)      Dalam arti umum adalah setiap perceraian yang timbul karena sebab-sebab dari pihak suami, zhihar, Li’an dan thalaq yang diucapkan suami, kepada istrinya baik dengan kata yang jelas (sharih) maupun kata-kata sindiran (kinayah).
2)      Dalam arti sempit adalah perceraian yang timbul karena kata-kata thalaq dan seumpamanya yang diucapkan suami jelas atau secara sendirian yang maksudnya melepaskan atau membebaskan istrinya dari ikatan perkawinan. [3]
      Al-Jaziri mendefinisikan Thalaq adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurai pelepasan ikatanya dengan menggunakan kata-kata tertentu. [4]
      Thalaq dimaksudkan untuk menghilangkan ikatan perkawinan ialah mengangkat ikatan perkawinan sehingga setelah diangkatnya ikatan perkawinan itu istri tidak halal bagi suaminya. Cara menjatuhkan thalaq yakni dengan mengatakan kata-kata yang menunjukan berakhirnya suatu hubungan antara suami dan istri. [5]
2.      Dasar Hukum Thalaq
            Firman Allah swt.
Artinya: “Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 226-227)
Hadis Nabi yang artinya “Dari ibnu umar, bahwa Rasulullah saw. Bersabda: ‘Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah swt, adalah thalaq’”. (H.R. Abu Dawud dan Hakim)
      Hukum thalaq (cerai) ini para ulama fiqh berbeda pendapat. Pendapat yang paling benar diantara semua itu ialah terlarang, kecuali dengan alasan-alasan yang benar.
3.      Macam-macam
1.      Thalaq ditinjau dari segi waktu
1)      Thalaq Sunni, ialah thalaq yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah.
2)      Thalaq Bid’I, ialah thalaq yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntutan sunnah.
2.      Thalaq ditinjau dari segi jelasnya kata-kata
1)      Thalaq sharih, yaitu thalaq dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas dapat dipahami sebagi pernyataan thalaq atau cerai seketika diucapakan.
2)      Thalaq Kinayah, yaitu thalaq dengan mempergunakan kata-kata sidiran atau samara-samar.
3.      Thalaq ditinjau sari segi ada atau tidaknya adanya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri
1)      Thalaq Raj’i yaitu thalaq yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya yang telah dikumpuli, bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, thalaq yang pertama kali dijatuhkan atau kedua kalinya.
2)      Thalaq Ba’in yaitu thalaq yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas istrinya, untuk mengembalikan bekas istri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan rukun dan syaratnya.

b.      Konsep Thalaq Undang-Undang Perkawinan
            Thalaq dalam konteks fiqh yakni seorang suami hanya mengucapkan “kamu saya thalaq” dan thalaqnya jadi. Lain halnya dalam aplikasi perceraian di Indonesia. Tata cara untuk menceraikan seorang istri diatur dan dilakukan di Pengadilan Agama. Maka dari itu penulis menggambarkan tata cara perceraian dalam konteks Indonesia.
      Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan, menurut agama islam yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat permohonan kepada pengadilan di tempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan siding untuk itu (pasal 129). Surat itu diajukan kepada pengadilan agama yang melayani tempat tinggalnya disertai dengan alasan-alasanya. [6]
Setelah pengadilan agama menerima surat tersebut, PA dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi (pasal 130).
Perceraian dimuka siding lebih menjamin persesuaianya dengan pedoman islam tentang perderaian sebab sebelum ada keputusan terlebih dahulu diadakan penelitian tentang apakah alasan-alasannya cukup kuat untuk terjadi perceraian antara suami dan istri, kecuali itu dimungkinkannya pula pengadilan bertindak sebagai hakam sebelum mengambil keputusan bercerai antara suami dan istri, dapat ditambahkan perceraian yang dilakukan dimuka pengadilan akan dapat memperkecil jumlah perceraian. [7]
Pengadilan agama mempelajari isi surat yang dimaksud (yang diajukan oleh suami) dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah itu memanggil kembali pengirim surat dan juga istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kehendaknya itu. [8]
Setelah mendapat penjelasan tentang maksud talak tersebut PA berusaha untuk mendamaikan ke dua belah pihak dan meminta bantuan pada Badan Penasehat Perkawinan dari Penyelesaian Perkawinan (BP4) setempat agar suami-istri tersebut rukun kembali.
Setelah mendengar hasil dari BP4 bahwa kedua belah pihak tidak dapat disatukan lagi, maka PA mengadakan siding untuk menyaksikan talak yang dimaksud, suami mengikrarkan talak di depan sidang pengadilan agama dengan dihadiri istri serta alasanya dan mendatatanganinya surat ikrar tersebut (pasal 131(3)).
Akan tetapi jika, dalam waktu 6 bulan terhitung dari putusan izin PA tentang ikrar talak, suami tidak mengikrarkan talaknya, maka ikrar talak dianggap gugur dan perkawinan tetap utuh.
Setelah dilakukan sidang, ternyata suami mengikrarkan talaknya, ketua PA membuat surat tentang terjadinya talak rangkap 4, helai pertama berserta surat ikrar talak diserahkan kepada pegawai pencatat nikah (PPN) di daerah tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga diberikan pada suami dan istri dan helai keempat disimpan oleh PA.
Suami istri atau kuasanya dengan membawa surat keterangan tentang talak datang ke PPN di daerah tempat tinggal suami untuk mendapatkan Kutipan Buku Pendaftaran Talak (KBPTR) jika pegawai pencatat nikah dilakukan, maka satu helai dari surat keterangan dikirimkan pula oleh istri kepada pegawai pencatat nikah tempat pernikahan dilakukan.
Apabila talak terjadi, maka kutipan akta nikah (KAN) masing-masing suami istri ditahan oleh PA ditempat talak terjadi dan dibuat catatan dalam ruang yang tersedia pada kutipan akta nikah tersebut bahwa yang bersangkutan telah menjatuhankan talak. Catatan yang dimaksud berisi tempat terjadinya talak, tanggal talak, nomor dan tanggal surat keterangan tentang terjadinya talak, dan tanda tangan panitra (pasal 28 dan 29 PMA No.3 tahun 1975), keputusan MA tanggal 5 November 1980 Reg.No.18 K/Ag/1980 talak akan ikrar setelah keputusan pengadilan, talak mempunyai kekuatan hukum pasti.
B.     Kesimpulan
      Perceraian merupakan sesuatu yang tidak diinginkan oleh semua orang. Namun, Perceraian sebagai jalan terakhir jika dalam sebuah rumah tangga tidak bisa merasakan tujuan pernikahan. Perceraian dalam fiqh klasik dan konteks undang-undang mempunyai berapa perbedaan. Sangat terlihat dalam fiqh klasik mudah saja dalam menceraikan seorang istri dengan mengucapkan thalaq. Akan tetapi, dalam undang-undang perkawinan terlihat keikut sertaan seorang hakim dalam menentukan putusnya suatu perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah. Ilmu Fiqh Jilid II. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995

Latif, M. Djamil. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Ramulyo, Moh. Idris. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah Jilid VIII Terjemah, Bandung: PT. Al-Maarif, 1994.







[1] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Terjemah (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1995), hal. 9. Jilid. VIII.
[2] M. Djamil Latif, Aneka Perceraian Di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 40.
[3] Ibid.
[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 172. Jilid II.
[5] Sayyid Sabiq…hal. 27.
[6] Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum IslamI (Jakarta: Bumi Askara, 1996), hal. 200
[7] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 1999), hal. 92
[8] JIdris Ramulyo…, hal. 200.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar