Minggu, 10 Juli 2011

Perjanjian Islam


AYAT-AYAT QUR’AN DAN HADIS
HUKUM PERJANJIAN/ PERIKATAN
 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu aqad-aqad (perjanjian) itu[1]. (Q.S. Al-Maidah:1)
Al-Biaqi mengemukakan hubungan yang lebih rinci. Menurut beliau pada akhir surat an-Nisa: 164, telah diuraikan bahwa orang-orang Yahudi yang melakukan kedzaliman dengan mengabaikan perjanjian mereka dengan Allah swt, telah dijatuhi sanksi; yakni berupa diharamkanya atas mereka (orang-orang Yahudi) yang baik-baik yang telah dihalalkan bagi merka, Al-anam: 45.
Dengan demikian sangat wajar dan amat sesuai bila dengan tuntunan kepada orang beriman untuk memenuhi akad (perjanjian). Menurut Zaid Bin Aslam berpendapat yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, bahwa aufu bil uqud ada enam. [2]
1.      Abdullah (perintah dan larangan Allah)
2.      Aqdul hilf (perjanjian persekutuan suku)
3.      Aqdul bai (perjanjian jual beli)
4.      Aqdun nikah (perjanjian perkawinan atau aqad perkawinan)
5.      Aqdul yamin (perjanjian sumpah).
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, akad (perjanjian) ada empat:[3]
1.      Perjanjian dengan Allah. SWT;
2.      Perjanjian dengan sesame manusia;
3.      Perjanjian dengan diri sendiri;
4.      Perjanjian yang halal.
Kalimat awal pada surat al-Maidah: 1 ( ياءيها الذين امنوا ) merupakan panggilan yang mesra. Dalam konteks ini dirwayatkan bahwa sahabat Nabi saw. Ibn Mas’ud berkata: “jika anda mengengar panggilan ilahi ya ayuha alladzina amanu, maka siapkanlah dengan baik pendengaranmu, karena sesungguhnya ada kebaikan yang Dia perintah atau keburukan yang Dia larang.[4]
Kata “al-uqud” adalah jamak dari kata “aqad” yang pada mulanya berarti mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga tidak menjadi baginya dan tidak terpisah dengannya.
Dalam ayat al-Maidah: 1 ada lafadz أوفو yang artinya “penuhilah” dimana dalam bahas Arab disebut fi’il amr (kata-kata perintah) yang implikasinya jika lafadz yang khusus dalam suatu nash yang di dalamnya mengandung arti perintah maka  menunjukan hukumnya adalah wajib; [5]
الاصل فى الامر للوجوب ولا تدلّ على غير الاّ بقرينة  
Perintah ayat ini menunjukan betapa al-Qur’an sangat menekankan perlunya memenuhi akad dalam segala bentuk dan maknanya dan pemenuhan sempurna, kalau perlu melebihkan dari yang seharusnya, serta mengecam orang-orang yang menyiayiakanya.
Hadis Nabi Muhammad saw:
و عن ابي رافع قال : قال النبي ص.م : اني لا اخيس بالعهد و لا احبس الرسل (راواه ابو داود و النسائ و صححه ابن حبان )
Artinya: Sesunggunhnya aku tidak menyalahi janji, dan tidak menahan utusan (H.R. Abu Dawud dan An-Nasai dan disahihkan oleh Ibnu Hibban).
Dan juga Hadis Nabi:
حدث ابن مسعود انه قال ايما بيعين تبايعا فالقول البائع او يترادان
Artinya: Hadis dari Ibnu Masud, siapa saja dua orang yang berjual beli. Maka yang menjadi pegangan adalah perkataan penjual atau saling mengembalikan.[6]

Hadis ini memberikan petunjuk bahwa Nabi Muhammad saw selalu tepat janji atau tidak mengingkari janji. Dengan demikian sebagai seorang muslim seharusnya mencontoh nabi dalam hal membuat perjanjian.
Selain itu perjanjian itu wajib ditepati jika tidak mempunyai cacat pada perjanjiannya. Artinya perjanjian itu wajib ditepati jika sesuai dengan syari’at (bukan perjanjian yang menimbulkan mafsadat).

Artinya: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu Telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain[7]. Sesungguhnya Allah Hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (An-Nahl: 91-92)
Surat an-Nahl: 91 dimana ayat ini diturunkan berkenaan berbaiat kepada nabi saw. Sedangkan surat an-Nahl: 92 dimana Ibnu Abu Hatim telah mengetengahkan sebuah hadis melalui Abu Bakar ibnu Abu Hafsah r.a yang telah menceritakan, bahwa ada seseorang wanita yang dikenal dengan nama Sa’idah Al-Asadiyah; ia adalah wanita yang gila, pekerjaan sehari-harinya hanyalah mengumpulkan rambut dan serat-serat. Ayat 92 ini diturunkan berkenaan dengan sifat-sifatnya,[8] yaitu: Dan janganlah kalian seperti seorang perempuan yang menguraikan kembali hasil pintalanya. . . (an-Nahl: 92)

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Israa: 34)
Artinya: “Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu Telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya[9]. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (At-Taubah: 4)

Artinya: “Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu Telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam [10]? Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 7)
Ayat ini kembali berbicara tentang pembatalan perjanjian, seakan-akan ada yang merasa heran atau keberatan mengapa perjanjian yang telah selama ini telah terjalin harus dibatalkan. Menampik keheranan atau keberatan itu, ayat ini menegaskan bahwa sungguh suatu hal yang aneh jika perjanjian itu tidak dibatalkan karena “bagaimana bisa ada untuk orang-orang musrik” yang  telah mantap lagi membudaya kemusrikan dalam diri mereka sehingga dengan mudah melakukan kejahatan dan tidak memenuhi perjanjian - bagaimana bisa ada perjanjian damai dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan mereka?. Perjanjian tidak dapat dilanjutkan, kecuali dengan orang-orang yang telah kamu mengadakan perjanjian dengan mereka di dekat Masjid al-Haram, yakni dalam perjanjian itu terhadap kamu yang melaksanakan secara sempurna dan bersinambung, maka hendaklah kamu konsisten pula terhadap mereka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.
At-Taubah menetapkan suatu prinsip dasar bagi keberadaan perjanjian dengan kaum musrikin. Bagaimana bisa ada perjanjian itu padahal mereka tidak beragama, tidak tunduk kepada Allah, tidak juga mengakui risalah rasul? Mereka tidak saja mengadakan pembangkangan terhadap manusia, tapi mereka bahkan membangkang terhadap pencipta mereka dan utusan pencipta mereka.
Ada pertanyaan besar “Bagaimanakah sebelum ini sudah ada perjanjian dengan kaum musrikin, misalnya di Hudaibiyah pada tahun ke VI H?” bagaimanakah ayat-ayat sebelum ini yang memerintahkan agar memelihara perjanjian dan baru membatalkannya jika terlihat tanda-tanda yang jelas bahwa mereka sedang akan membatalkannya. Sayyid Quthub menjawab bahwa perjanjian-perjanjian yang lalu sesuai sesuai dengan kondisi kaum muslimin ketika itu, tetapi ketetapan dasar dan akhirnya apa yang dipesankan oleh ayat ini, yakni tidak wajar ada perjanjian dengan mereka. Perjanjian yang lalu adalah ketetapan yang disesuaikan dengan periode dakwah yang memang jauh sebelumnya telah menetapkan targetnya, yaitu bumi harus bebas dari kemusrikan dan bahwa ketundukan hanya kepada Allah semata.
Pendapat yang cukup keras ini tidak disetujui sekian banyak ulama diantaranya Muhammad Izzat Darwazah dan M. Quraish Sihab bahwa islam menuntut perdamaian – paling tidak dalam batas wilayahnya – dan apabila ditawarkan kepadanya perdamaian maka islam menerima dan menyambutnya. Ayat ini memberikan peluang untuk menjalin perdamaian yang adail dengan siapa pun. [11]

DAFTAR PUSTAKA

al-Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib. Semarang: Toha Putra Group, 1994.

al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin as-Suyuhti. Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004.

Katsir, Ibnu. Muhtasar Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy. Surabaya: t.tp, 2004. II.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2004. III.

Rusdy, Ibnu. Bidayatul Muztahid. Surabaya: Al-Hidayah, t.th.



[1] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuhti, Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar, Cet. 10 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), I. 445.
[2] Ibnu Katsir, Muhtasar Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, (Surabaya: t.tp, 2004), II. 3.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, Cet. II (Jakarta: Lentera Hati, 2004), III. 6.
[4] Ibid…III. 7.
[5] Abdul Wahab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib (Semarang: Toha Putra Group, 1994), hlm. 305.
[6] Ibnu Rusdy, Bidayatul Muztahid (Surabaya: Al-Hidayah, t.th), II.128.
[7]Kaum muslimin yang jumlahnya masih sedikit itu Telah mengadakan perjanjian yang Kuat dengan nabi di waktu mereka melihat orang-orang Quraisy berjumlah banyak dan berpengalaman cukup, lalu timbullah keinginan mereka untuk membatalkan perjanjian dengan nabi Muhammad s.a.w. itu. Maka perbuatan yang demikian itu dilarang oleh Allah s.w.t.
[8] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuhti…II. 1122.
[9]Maksud yang diberi tangguh empat bulan itu ialah: mereka yang memungkiri janji mereka dengan nabi Muhammad SAW. adapun mereka yang tidak memungkiri janjinya Maka perjanjian itu diteruskan sampai berakhir masa yang ditentukan dalam perjanjian itu. sesudah berakhir masa itu, Maka tiada lagi perdamaian dengan orang-orang musyrikin.
[10]Yang dimaksud dengan dekat Masjidilharam ialah: Al-Hudaibiyah, suatu tempat yang terletak dekat Makkah di jalan ke Madinah. Pada tempat itu nabi Muhammad saw mengadakan perjanjian gencatan senjata dengan kaum musyrikin dalam masa 10 tahun.
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an… III. 534-536.