Senin, 11 Juli 2011

JUAL BELI KREDIT


TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG JUAL BELI RUMAH DAN TANAH SISTEM KREDIT
A.    Pendahuluan
1.      Pengertian Jual Beli Sistem Kredit
Kredit berasal dari kata Itali, cedere yang berarti kepercayaan. Kepercayaan yang dimaksud di dalam perkreditan adalah antara si pemberi dan si penerima kredit. Kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang dan barang) dengan balas prestasi yang akan terjadi pada waktu mendatang. [1]
Kerdit adalah sesuatu yang dibayar secara berangsur-angsur baik itu jual beli maupun dalam pinjam meminjam. Misalnya, seorang membeli ke sebuah dealer dengan uang muka 10 % dan sisanya dibayar secara berangsur-angsur selama sekian tahun dan dibayar satu kali dalam sebulan. Kredit bisa juga terjadi pada seseorang yang meminjam uang ke bank atau koperasi, kemudian pinjaman tersebut dibayar berangsur-angsur, ada yang dibayar setiap hari, mingguan, dan ada pula yang dibayar satu kali dalam sebulan.
Menurut UU No. 7 Tahun 1992 tentang pokok-pokok Perbankan, pengertian kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman-pinjaman antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.
Bank yang berpedomannya adalah memperoleh hasil yang setinggi-tingginya dari uang yang dipinjamkan tanpa mempersoalkan penggunaan kredit yang diberikannya. [2]
Dengan mengambil inti sari kredit pada Perbankan, Jual Beli Sistem Kredit adalah Jual beli yang pembayaranya ditangguhkan (dilakukan secara berangsur-angsur). [3]
Salah satu kegiatan bank yang tidak lepas dari bunga ialah penyediaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Dalam penyelenggaraan kredit pemilikan rumah terlibat unit-unit usaha lain, seperti perseroan Terbatas (PT) yang melaksanakan penyediaan lokasi tanah dan pembangunan rumah.
Hal-hal yang ditetapkan oleh penyelenggara KPR antara lain harga jual kontan, uang muka, suku bunga, angsuran bulanan dan beban-beban lain yang harus dibayar oleh pembeli (debitur) misalnya biaya penyambungan listrik, provisi bank dan biaya notaris. Untuk memperjelas lihat contoh di halaman terakhir dilampirkan, sebagai contoh, kerdit pemilikan rumah Bank Tabungan Negara (KPR-BTN) yang penyelenggaraan proyek pembangunan perumahanya dilaksanakan oleh PT. Pelangi Buana Utama.

2.      Pokok Permasalahan Jual Beli Sistem Kredit
Jual Beli Sistem Kredit bukan isu baru melainkan sudah terkenal dimana-mana. Jual beli sistem kredit dianggap sebagai salah satu cara seseorang untuk memiliki barang dengan mengkredit (angsuran). Mencemarti kasus bila dilihat dari hukum islam maka yang menjadi masalah adalah model jual beli tidak kontan (kredit) dengan pembayaran secara berangsur-angsur. Dan yang menjadi masalah lebih besar lagi ialah kenaikan harga rumah dan tanah dengan menggunakan sistem prosentasi (bunga), seperti 9 %, 12 %, 15 % per tahun. [4]
Bolehkah melaksanakan transaksi seperti ini menurut syari’at islam?

B.     Tinjauan Hukum Islam Jual Beli Rumah dan Tanah Sistem Kredit
a.       Konsep Jual Beli Sistem Kredit dalam Fiqh
Di dalam fiqh jual-beli dengan pembayaran tidak tunai disebut dengan bai’ul al-ajal (jual beli tidak kontan). Pembayarannya mungkin diangsur mungkin sekaligus, mungkin pula ada uang muka (voorschot).
Mengenai jual beli voorschot (bai’al urbun, jual beli dengan uang muka), jumhur ulama Anshar mengatakan tidak boleh. Alasanya ialah karena jual beli tersebut termasuk mengandung kesamaran, pertaruhan dan terdapat unsur memakan harta orang lain tanpa imbalan. Ada dua motif yang dijadikan dasar larangan Jual-beli jenis ini (bai’al urbun), diantaranya:
1)      Bahawa apa yang dibayarkan sebagai voorschot itu akan hilang sia-sia apabila ternyata pihak pembeli tidak meneruskan pembelainya atas barang tersebut.
2)      Syarat barang tersebut akan kembali kepada si penjual manakala ternyata penjual tidak ingin melanjutkan menjual barang tersebut.
Dari golongan tabi’in yang membolehkan antara lain Mujahid, Ibnu Sirin, Nafi bin al-Harst dan Zaid bin Aslam. [5]
Ibnu Rusdy memberi contoh jual beli sistem kredit (bai’u al-ajal) seperti: seorang menjual barang dengan harga tertentu sampai masa tertentu, kemudian ia membelinya kembali dengan harga lain sampai masa tertentu yang lain lagi, atau dengan harga kontan. Sehubungan dengan adanya perubahan waktu itu harga bisa berubah. Ia membelinya dengan cash (kontan) sebelum masanya dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang sebenarnya, atau membelinya dengan harga yang telah jauh dari pada masa tersebut dan dengan harga yang lebih besar dari pada yang sebenarnya. [6]
Seorang muslim diperbolehkan membeli barang dengan membayar harganya secara kontan, atau menangguhkanya hingga waktu tertentu (kredit), yang penting suka sama suka. Suatu ketika Nabi saw. Membeli makanan dari seorang Yahudi untuk menghidupi keluarganya, dengan pembayaran kredit. Beliau juga pernah mengadaikan baju besinya kepada si Yahudi itu.
Apabila si penjual menaikan harga karena penundaan pembayaran, seperti yang biasa oleh kebayakan pedagang yang menjual dengan pembayaran angsuran, sebagai ahli fiqh mengharamkanya dengan alasan bahwa itu merupakan tambahan nilai harta dengan kompensasi waktu. Ini mirip dengan riba. [7]
Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama ahli fiqh:
1)      Jumhur Ulama ahli Fiqh, seperti Abu Hanifah, Muhammad bin Idris (As-Syafi’i), Said bin Ali, Dawud, Abu Tsaur dan Muayyid Bilahi berpendapat bahwa jual beli yang pembayaranya ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk pihak penjual. Karena penangguhan itu adalah harga mereka melihat pada dalil umum yang membolehkan. [8] Menurut Jumhur menetapkan bahwa seorang pedagang boleh menaikan harga menurut yang pantas. Karena pada asalnya dalam urusan muamalat boleh selagi belum ada nash yang mengharamkanya. Sebaliknya kalau sampai pada batas kedzaliman maka hukumnya berubah menjadi haram.
2)      Sebagian ulama mengharamkan seperti Imam Malik dan lain-lain, menurut mereka bahwa penambahan harga itu dikaitkan dengan masalah waktu dan hal itu berarti tidak ada bedanya dengan riba. Pendapat lainya yang senada mengatakan bahwa upaya menaikan harga diatas yang sebenarnya lantaran kredit (penangguhan pembayaran) lebih dekat kepada riba nasi’ah (harga tambahan) dan jelas-jelas dilarang dalam nash. [9]
b.      Hukum Jual Beli Kredit Perumahan Dan Tanah
Dari uraian diatas tampak bahwa di dalam fiqh dikenal adanya jual beli dengan pembayaran kemudian (bai’al ajl) dan jual beli uang muka (bai’al urbun). Pembayaran atau harga bisa lebih rendah kalau pembelian den pembayaran dilakukan dalam waktu lebih cepat. Sebaliknya bila tenggang waktu lebih lama maka harga bisa lebih tinggi. Mengenai hukumnya, ada ulama yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan.
Jual beli sistem kredit pemilikan rumah adalah sistem penjualan yang fleksibel, dalam arti harga bisa lebih rendah bila dibeli kontan atau diangsur dalam waktu yang lebih pendek. Sebaliknya bila diangsur dalam waktu yang lebih lama, harga lebih tinggi.
Perbedaan jual beli sistem kredit pemilikan rumah di Indonesia dangan fiqh terletak pada penentuan kenaikan harga. Dalam fiqh tidak ditentukan berdasarkan prosentasi (bunga), dalam KPR ditentukan berdasar prosentasi, seperti 9 %, 12 % dan 15 %. Penentuan bunga seperti inilah menjadi persoalan jika dilihat dari hukum islam. Turun naiknya harga pada kedua sistem itu jelas ada. Karena itu, soal bertambahnya harga sebabkan jangka waktu yang lebih panjang adalah soal yang rasional dan hukumnya boleh. Menurut Jumhur fuqaha waktu sangatlah berharga sehingga karena mempertimbangkan jangka waktu pembayaran, maka harga hutang (kredit) lebih tinggi dari pada harga tunai. [10] Menurut Hasan bahwa jual beli sistem kredit dengan harga tertentu yang lebih tinggi dari pada harga cash harus dilihat sebagai akad yang berdiri sendiri, demikian pula halnya dengan jual beli tunai dengan harga yang lebih rendah, yang penting kedua belah pihak sama-sama rela. [11] Dengan demikian kenaikan harga dalam jual beli tidak dilarang (boleh), asal tidak terdapat penipuan.
Jual beli perumahan model KPR mengandung riba, yang termasuk riba khafi. Hukumnya haram lisaddi al-zari’ah. Tetapi karena sangat bermanfaat dan dibutuhkan oleh golongan ekonomi lemah, maka hukumnya menjadi boleh atas dasar hajat atau maslahat. [12]
a)      Turun atau naiknya harga dalam jual beli adalah halal.
b)      Kenaikan harga KPR terkendalikan oleh pelaturan yang dikeluarkan lembaga berwenang.
c)      Sistem KPR membantu kaum ekonomi lemah.
d)     Tambahan harga (bunga) tidak termasuk lipat ganda, tetapi rendah, perbulan berkisar antara 0,8 % - 1,25 %.
e)      Jual beli sistem ini bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada pembeli yang tidak mampu melakukan pembayaran secara tunai.

C.    Kesimpula
Dari Uraian pembahasan dalam makalah ini dapat diambil benang merah sebagai berikut:
1)      Riba ada yang ditetapkan hukumnya dengan ayat al-Qur’an dan ada yang ditetapkan dengan hadis. Para ulama umumny berpendapat bahwa semua riba, baik besar maupun kecil, hukumnya haram. Ada yang berpendapat, yang diharamkan al-Qur’an hanya riba yang berlipat ganda. Sesuai pendapat Hasan diatas jual-beli tersebut antara pihak saling rela (ridha).
2)      Bunga bank ada yang mengharamkan karena sama dengan riba, ada yang menghalalkan karena tidak sama dengan riba, dan ada juga yang membolehkan karena dharurat.
3)      Kredit pemilikan rumah mengandung unsure riba khafi, karena dalam penentuan kenaikan harga menggunakan sistem prosentasi (bunga). Karena riba khafi, kredit pemilikan rumah dibolehkan karena hajat atau maslahat.


DAFTAR PUSTAKA
Aibak, Khutbuddin. Kajian Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Teras, 2009.
Aziz, Jamal Abdul. Dikotomi Ibadat dan Adat Dalam Hukum Islam. Purwokerto: STAIN Press, 2009.
Hasibuan, Malayu S.P. Dasar-Dasar Perbankan. Cet. VI. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007.
Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid, terj. M. A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah. Semarang: CV. Asy-Syifa, 1990.
Imam Muhamad Asy-Syaukani. Nailul Authar, terj. Adib Bisri Mustofa dkk. Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994.
O.P. Simorangkir. Pengantar Lembaga Keuangan Bank Dan Nonbank. Cet.II.  Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.
Qardhawi, Yusuf. Halal Haram Dalam Islam, terj. Wahid Ahmadi, Jasmin, Khozin Abu Faqih, dan Kamal Fauzi. Cet. III. Solo: Era Intermedia, 2005.
Sabiq, Sayid. Fiqhu As-Sunnah, terj. Jakarta: Pena Pundi Askara, 2008.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Cet. V. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010.
Sukarja, Ahmad., et al. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Editor: Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ. Cet. II. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1997.


[1] O.P. Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan Bank Dan Non Bank, Cet. II (Bogor: Ghalia, 2004), hal. 100. Malayu S.P. Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan, Cet. VI (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), hal. 87.
[2] Ibid, hal. 101.
[3] Khutbuddin Aibak, Kajian Fikih Kontemporer (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 216.
[4] Ahmad Sukarja, et al., “Problematika Hukum Islam Kontemporer”, Editor Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Cet. II (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1997), hal. 51.
[5] Ibid, hal 52.
[6]Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid, terj. M. A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1990), hal. 32-37,  Jilid: III.
[7] Yusuf Qardhawi, Halal Haram: Dalam Islam, terj. Wahid Ahmadi, Jasmin, Khozin Abu Faqih, dan Kamal Fauzi, Cet. III (Solo: Era Intermedia, 2005), hal. 377.
[8] Syaukani Berkata: “Kami telah menulis risalah tentang ini dengan judul Syifa’ul ‘illal: Fi Hukmi Ziyadatits Tsaman Limujarradil Ajal (hukum menambah harga hanya karena kredit). Imam Muhamad Asy-Syaukani, Nailul Authar, terj.  Adib Bisri Mustofa dkk (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994), hal. 478-481, Jilid: V. Hadis Nabi yang artinya: “Apa-apa yang berhubungan dengan ibadat kamu, hendaklah kamu kembalikan padaku; dan apa-apa yang berhubungan dengan masalah duniamu, maka kamu lebih tahu itu.” (H.R Ahmad)
[9] Khutbuddin Aibak, hal. 216. Menurut Imam Syafi’i hadits yang dijadikan pedoman lemah dari segi perawinya. Dengan demikian Nabi tidak melarangnya. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. V ( Jakarta: PT. RajaGarafindo Persada, 2010), hal. 80.
[10] Jamal Abdul Aziz, Dikotomi Ibadat dan Adat (Purwokerto: STAIN Press, 2009), hal. 214.
[11] Ibid, hal. 214-215. Dan Sayid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, terj. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), hal. 41, Jilid: IV. Dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan bathil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka.” (An-Nisa: 29)
[12] Ahmad Sukarja, et al., hal. 52-53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar