Jumat, 26 Juli 2013

FATWA HUKUM TALQIN ORANG MATI DAN HUKUM MEMASUKAN OBAT DI JALAN DARAH WAKTU PUASA PRESPEKTIF A. HASAN (Metode Istinba>t} al-h}ukm A.Hasan


A.    Pendahuluan
Mempelajari al-Qur’an dan al-Hadis membutuhkan kemampuan yang cukup, bahkan memerlukan seperangkan ilmu-ilmu, misal: Ilmu Ulumul Qur’an, Ilmu Us}ul Fiqh, ilmu balaghah, ilmu mantiq dan ilmu ulumul hadis dan lain-lain. Mempelajari al-Qur’an dan al-Hadis bertujuan untuk mencari hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, baik yang bersifat aqidah, ibadah, dan muamalah.
Kemudian seseorang yang tidak mampu mempelajari al-Qur’an dan al-Hadis diwajibkan untuk bertanya pada seseorang ulama agar tidak sesat dalam hal apapu.[1] Sebagai contoh ada seseorang bertanya (Mustafti>) pada ulama yang bernama A. Hasan (Mufti>):
1.      Apa hukum mentalqinkan orang yang sudah mati dari atas kuburnya?[2]
2.      Adakah bat}al puasa orang yang dipompa kemaluanya lantaran sakit kencing, orang yang di-injeksi dengan obat yang masuk pada segala urat-urat badan, orang yang dipompa jalan buang air besarnya dengan air sabun, lantaran payah buang air besar?[3]
B.     Jawaban A. Hasan (Mufti>) Pada Seorang Mustafti>
a.      Pertanyaan Nomor Satu
Talqin itu artinya mengajar. Maksudnya mengajarkan orang mati untuk menjawab pertanyaan-pertayaan yang akan ditanyakan oleh malaikat, atau mengajari orang mati apa-apa I’tiqad yang wajib ia imani sewaktu masih hidup.
Konsep Talqin dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang s}ah}ih}, kemudian talqin tidak pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat.
Adapun hadis yang yang diriwayatkan oleh at-Thabrani tentang talqin, akan tetapi hadis tersebut D}aif  (lemah) dengan didukung oleh ahli-ahli Hadis seperti: Ibnu Hajar, Ibnu Qayim, Ibnu S}alah}, Nawawi dan lain-lain.[4]
Kata Imam Izzuddin yang artinya: Talqin bid’ah, tidak s}ah ditentang itu satu pun (Riwayat dari Nabi)
Dalam al-Qur’an dijelaskan:
إِنَّكَ لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ (٨٠)
Artinya: Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang. (Q.S. Naml: 80)
وَمَا يَسْتَوِي الأحْيَاءُ وَلا الأمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ (٢٢)
Artinya; dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar. (Q.S. Fat}ir: 22)
Kemudian dalil-dalil tentang ketidakbolehan talqin, diantaranya: Firman Allah surat an-Nisa: 18
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ وَلا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (١٨)
Artinya: Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang". dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.
A.    Hasan juga menambahkan sebagai berikut:[5]
1.      Maka apabila taubat diwaktu hampir mati itu, tidak berguna, bagaimanakah ajaran sihidup kepada simati yang di dalam kubur itu bisa bermanfaat.
2.      Kalau ajaran sihidup kepada orang yang di dalam kubur itu berguna, mengapakah tidak mengajarkan orang-orang kafir.
3.      Kamu bacakan talqin itu dengan bahasa Arab. Maka apakah keterang kamu yang menunjukan bahwa si mati mengerti.
4.      Kiyai-kiyai, Mudin (lebe-lebe) yang berfikir serta berusaha menjadi guru bagi orang yang hidup, supaya kita bersama-sama ini bermanfaat dan berarti.
Menurut sunah, bahwa apabila selesai dikuburkan, kemudian Nabi Muhammad SAW berdiri seraya berkata kepada yang hadir di situ:
Artinya: Mintakanlah ampun bagi saudara kamu ini dan mintakanlah Allah beri ketetapan baginya, karena ia sekarang sedang diprikasa (H.R. Abu Dawud)
b.      Pertanyaan Nomor Dua
Menurut al-Qur’an dan al-Hadis yang sahih, tidak ada yang membatalkan puasa, melainkan dua perkara:
1.      Hubunga suami istri
2.      Makan dan minum
Sesuai dengan firman Allah SWT

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (١٨٧)
Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (al-Baqarah: 187)
Selain dari dua itu tidak ada yang membatalkan puasa. Adapun hal pompa lobang kencing, injeksi dengan obat yang masuk pada sekian urat-urat dan juga pompa lobang buang air besar dengan air sabun sekalian, tidak masuk bilangan makan atau minum atau berhubungan suami istri, oleh sebab itu tidak dapat dikatakan batal puasanya dengan perbuatan-perbuata itu.
C.    Metode Istinba>t} al-h}ukm A. Hasan
Secara etimologis istinba>t} berarti menggali dan mengeluarkan. Sedangkan secara terminologis istinba>t} berarti mengeluarkan makna (pengertian) dari nas (teks) dengan kekuatan akal pikiran dan potensi diri. Menurut Asjmuni Abdurrahman istinba>t} adalah mengeluarkan hukum dari dalil.[6]
Dengan demikian istinba>t} hukum adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan kemampuan akal pikiran dan kemampuan potensi diri untuk menggali ataupun mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara‘ (sumber-sumber hukum syara‘) dan kemudian menatapkannya. Istinba>t} hukum yang pada dasarnya merupakan usaha untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah secara benar dan bertanggung jawab, menggunakan metode tertentu dalam prosesnya. Sekurang-kurangnya ada tiga metode istinba>t} hukum yang dikenal dalam hukum islam, yaitu metode baya>ni>, ta’li>li>, dan istis}la>h}i>.[7] Dalam wacana usul fikih, istinba>t} sangat erat kaitanya dengan ijtihad.[8] Istinba>t} dan ijtihad sesuatu hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ijtihad merupakan bentuk penampakan luarnya, yakni segala usaha keras untuk memperoleh hukum syara‘ terapan, sementara istinba>t} merupakan bentuk oprasionalnya atau metodenya.
Ahmad Hasan sendiri tidak pernah menyebut-nyebut tentang istinba>t} hukum apalagi menyebutkan metodenya. Akan tetapi, dengan memperhatikan cara ia memahami dan menyikapi kasus-kasus hukum maka metode ataupun kecenderungannya dalam melakukan istinba>t} hukum akan dapat diketahui. Adapun ciri utama yang secara umum mendasari karakter pemikiran hukumnya yang mana hal ini sangat berpengaruh terhadap istinba>t} hukum yang dilakukannya. Pertama, seruan yang selalu dikumandangkan untuk kembali pada al-Qur’an dan Sunnah berimplikasi kuat pada karakter pemikiran hukumnya yang menakankan pada dalil-dalil yang berasal dari kedua sumber pokok tersebut. Karakternya yang seperti ini mirip dengan pemikiran hukum ahl al-Z}a>hir yang direpresentasikan oleh ibn H}azm dan Mazhab Hanbali yang diwakili oleh ibn Taymiyyah. Sementara pada zaman modern ini, pandanganya relatif dekat dengan pola pemikiran Ikhwan al-Muslimin di Mesir dan Jamaat-i Islami di Pakistan.[9] Kedua, A. Hasan memilahkan persoalan hukum ke dalam dua katagori besar, yakni ibadat dan keduniaan (a>da>t, mu’a>malat). Pemilahan setiap masalah hukum pada dua katagori, iba>da>t dan ‘a>da>t, bagi Hasan sangat membantu dalam memecahkan banyak permasalahan hukum. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, pemilahan yang tegas seperti itu tidak mudah dilakukan sehingga potensial menimbulkan perbedaan pendapat. Ketiga, secara umum dalam mlakukan istinba>t} hukum Hasan lebih banyak menggunakan pendekatan kebahasaan. Dengan demikian, metode istinba>t} hukumnya dapat dimasukan dalam katagori metode baya>ni>, dimana dalam hal ini ia kemudian terkesan sangat kuat memegang makna literal teks syara‘. Hal ini terlihat terutama dari istinba>t} hukumnya dari persoalan ibadat. Keempat, metode istinba>t} hukum yang diterapkan Hasan umumnya bersifat sederhana. Sebagai contoh ia kurang memperhatikan adanya ‘illah yang menjadi dasar dalam penetapan hukum melalui qiya>s. Padahal ‘illah hukum merupakan pemasalahan pelik yang selama ini menjadi bahan perdebatan serius dan luas dikalangan fuqaha dalam menetapkan hukum.[10] Baginya istinba>t} hukum tidaklah terlalu rumit untuk dilakukan oleh siapapun yang mememiliki pengetahuan yang cukup untuk itu. Jadi dalam hal ini Hasan mencoba memperlihatkan bahwa usul fikih, yang menjadi bekal utama dalam melakukan istinba>t} hukum, tidaklah terlalu rumit untuk diterapkan sebagaimana kesan yang selama ini ada. Di tanganya, usul fikih termasuk tentu saja istinba>t} hukum menjadi mudah.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap kali membahas persoalan-persoalan agama, terutama persoalan yang melibatkan banyak dalil hukum, terlebih dahulu Hasan membeikan dalil-dalil dari al-Qur’an dan Hadis yang relevan. Hal ini tentu saja erat kaitanya dengan misi gerakan pembaharuannya yang selalu menekankan untuk kembali pada al-Qur’an dan Sunnah, tidak terkecuali dalam membahas masalah keagamaan.
Metode istinba>t} atau penalaran hukum yang ditempuh Hasan dalam masalah talqin bagi orang mati dan hal yang membatalkan puasa ini akan mudah dikuti manakala kita memahami beberapa karakter dasar pemikiran hukumnya sebagaimana telah disinggung di atas. Sebagai seorang pembaharu yang menekankan pada kemurnian ajaran dari kedua sumber pokok (al-Qur’an dan Sunnah). Dengan misi dan paradigma pembaharuan ini, pola pemikiran hukumnya menjadi sangat berorientasi pada nas syara‘, yakni ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah, lebih-lebih dalam wilayah peribadatan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Hasan kemudian dikenal sebagai seorang yang sangat tekstual dalam pandangan-pandangan hukumnya.
Maka dari itu penghukuman talqin orang yang sudah mati dan hal yang membatalkan puasa mendasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak mengatur bolehnya talqin orang yang sudah mati dan juga dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak ada yang membatalkan puasa kecuali makan dan minum.
D.    Pandangan Ulama Tentang Talqin dan Hal yang membatalkan Puasa
a.      Tentang Talqin orang yang sudah meninggal
Hukum mentalqin orang yang sudah meninggal hukumnya sunah. Berikut ini diketengahkan beberapa fatwa ulama yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh asy-Sya>Fi’i yang sudah lama beredar di seluruh dunia dan banyak dikaji di pondok-pondok pesantren.
1.      Menurut Muh}yi ad-di>n ibn Zakariya> Yah}ya ibn Syarif an-Nawawi>, dalam kitab al-Adka>r mengatakan: Adapun membaca talqin untuk mayit sesudah dia kuburkan, maka banyak sekali sahabat-sahabat kita para ulama madzhab asy-Sya>fi’i yang berfatwa tentang kesunatanya. Diantara ulama tersebut adalah: al-Qa>di> H}usain, Abu> Said al-Mutawali>, Abu> al-Fath Nas}r ibn Ibra>hi>m ibn Nas}r al-Muqadasi>, Abu> Qa>sim ar-Ra>fi’i.[11]
Dengan demikian fatwa tentang sunnatnya talqin ini tidak hanya dikeluarkan oleh ulama-ulama khalaf melainkan juga ulama-ulama salaf.
2.      Wahbah az-Zuhayli>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, menyatakan “Disunnahkan menurut ulama-ulama asy-Sya>Fi’i dan Hanbali membacakan talqin untuk mayit mukallaf sesudah dia dikuburkan.[12]
Dan masih banyak lagi ulama-ulama yang memperbolehkan talqin orang yang sudah meninggal.
Menurut peneltian ulama, hadis yang menjadi dasar pembolehan talqin merupakan hadis d}aif, dimana dalam hadis tersebut terdapat nama Ashim ibn Ubaidilla yang oleh Ibnu Khzaimah dikatakan sebagai orang yang kuat hafalanya. Namun demikian para tokoh-tokoh di atas tetap memfatwakan bahwa talqin itu sunnah hukumnya walaupun para tokoh tersebut mengetahui prihal ked}aifan hadis tersebut.[13]
Para ulama tersebut mempunyai alasan, diantaranya: Talqin itu hanyalah “Keutamaan Amal” yaitu amalan-amalan yang mengandung keutamaan yang terdiri dari do’a-do’a dan Zikir. Menurut Imam Nawawi> adalah: “Berkata para ulama dari kalangan ahli hadis, fuqaha dan yang lainnya bahwa boleh bahkan disukai menggunakan hadis-hadis d}aif dalam hal keutamaan amal. Ini jika hadis d}aif tidak tergolong maud}u (hadis palsu). Adapun dalam perkara hukum seperti halal dan haram, jual-beli, nikah, talaq dan lain-lainya, maka tidak boleh dipakai kecuali hadis yang sah}ih} dan h}asan.[14]

b.      Hal-hal yang membatalkan puasa
Dalam literature fiqh hal-hal yang membatalkan puasa ada sepuluh, diantaranya sebagai berikut:[15]
1)      Makan Minum
2)      Memasukan sesuatu lewat kepala
3)      Memasukan obat-obatan lewat qubul dan dubur
4)      Sengaja muntah
5)      Wat}i atau berhubungan suami istri
6)      Keluar mani (seperma) secara disengaja
7)      H}aid}
8)      Nifas
9)      Gila
10)  Murtad.
Bahkan menurut Imam Ghazali ada hal-hal yang membatalkan pahala puasa diantaranya:[16]
1)      Berkata bohong
2)      Mengumpat
3)      Fitnah
4)      Melihat wanita dengan sahwat
5)      Sumpah palsu.
Dengan mengacu pada hal di atas maka memasukan obat-obatan ke tempat buang air besar atau kecil itu membatalkan puasa. Namun apabila hal tersebut tidak dilaksanakan maka akan menimbulkan kematian, maka hal tersebut diperbolehkan sesuai dengan kaidah fiqh:
الضّرر يزال شرعا[17]
 
Kemudian kaidah lain yang serupa:
الْحَاجةُ تنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ عامَّةً أوْ خاصَّةً [18]

E.     Kesimpulan
Metode istinba>t} hukum sangat perpengaruh pada hasilnya. Hasan memakai metode istinba>t} hukum baya>ni> dan juga kurang memperhatikan ‘illah hukum sehingga hukum yang dihasilkanya mengacu pada teks al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga Hasan juga disebut sebagai orang yang tekstual, yang artinya hanya berdasar pada al-Qur’an dan Sunnah.
Kemudian ulama-ulama terdahulu dan kontemporer dalam memaknai nas selalu memperhatikan illah hukumnya yang bertujuan untuk kehati-hatian dalam memberikan fatwa.
Penulis setuju dengan pendapat para ulama yang menyatakan bahwa mentalqinkan orang yang sudah meninggal hukumnya sunnah, memasukan obat lewat jalan buang air besar atau kecil itu diperbolehkan jika memang sudah tidak ada jalan lain kecuali dengan cara tersebut (d}arurat).
 
Daftar Pustaka
al-Khalla>f, Abdul Wahab, Ilmu Us}u>l Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qorib, Semarang: PT. Toha Putra Group, 1994.
al-Ghaza>li>, Imam, Ih}ya Ulu>m ad-Di>n, tah}qiq: Baidawi>, Baeru>t: Da>r al-Ulum, t.th.
an-Nawawi, Muh}yi ad-di>n ibn Zakariya> Yah}ya ibn Syarif, al-Adka>r, Surabaya: al-Hidayah, t.th.
az-Zuhayli>, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh juz II, Damaskus: Da>r al-Fikr, 1989.
Asjmuni Abdurrahman, Metode Penetapan Hukum, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Aziz, Jamal Abd., Dikotomi Ibadat dan Adat Dalam Hukum Islam, Purwokerto: STAIN Press, 2009.
Hasan,Ahmad, Soal Jawab Tentang Berbagai masalah agama, cet. 15, Bandung: Diponogoro, 2007.
Hija>zi>, Ah}mad ibn al-Qasi>, Mawa>hib as}-S}amad, Semarang: Toha Putra, t.th.
Mujiburrahman, Argumentasi Ulama Syafi’iyah Terhadap Beberapa Tuduhan Bd’ah, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2003.
Muh}ammad, Taqi> ad-Di>n Abi> Bakar ibn al-H}usain al-H}us}ani, Kifayat al-Akhya>r Indonesia: Al-Haramain, t.th.
Suraji, Muhammad, Fatwa Hukum Islam, Modul Tidak Diterbitkan. Purwokerto: STAIN Purwokerto, t.th.
Washil, Nashr Farid Muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyah, Jakarta: Amzah, 2009.


[1] Lihat al-Qur’an al-Anbiya: 7
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٧)
Artinya: Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.
[2] Ahmad Hasan, Soal Jawab Tentang Berbagai masalah agama, cet. 15 (Bandung: Diponogoro, 2007), hlm. 212.
[3] Ibid, hlm. 231.
[4] Ibid., hlm. 212.
[5]Ibid., hlm. 213.
[6] Asjmuni Abdurrahman, Metode Penetapan Hukum, cet. I (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 1.
[7] Metode baya>ni> lebih menekankan pada kajian makna teks dari berbagai aspek kebahasaan seperti makna lafaz dan susunan kalimatnya, serta cenderung mengabaikan kondisi sosial yang ada. Sedangkan dua metode berikutnya relatif lebih banyak memperhatikan kondisi sosial dan perkembangan masyarakat sehingga hasil istinba>t}-nya kadang-kadang berbeda dengan arti harfiah teks (nas). Jadi secara garis besarnya metode ini dibedakan menjadi dua, yaitu metode analisis kebahasaan (manhaj baya>ni>) yang tergabung dalam kelompok al-qawa>‘id al-lughawiyyah dan metode analisis nalar. Metode yang terakhir ini dibagi dua, yaitu analisis ‘illat hukum (manhaj ta’li>li>) dan metode analisis ­al-mas}a>lih} al-mursalah (manhaj istis}la>h}i>). Lihat Jamal Abd. Aziz, Dikotomi Ibadat dan Adat Dalam Hukum Islam (Purwokerto: STAIN Press, 2009), hlm. 181 Bandingkan dengan Muhammad Suraji, Fatwa Hukum Islam, Modul Tidak Diterbitkan. Purwokerto: STAIN Purwokerto, t.th., hlm. 58-61.
[8] Ijtihad adalah Mencurahkan segenap usaha untuk sampai kepada hukum syara’ dari dalil-dalil tafsili yang termasuk dalil syar’i. Lihat Abdul Wahab al-Khalla>f, Ilmu Us}u>l Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qorib (Semarang: PT. Toha Putra Group, 1994), hlm. 338.
[9] Akh. Minhaji dalam Jamal Abdul Aziz, Dikotomi Ibadat dan Adat...hlm. 182.
[10]Minhaji menyebutkan bentuk pendekatan Hasan ini dengan etymological approach (t}ari>qah lafz}iyyah) dan epistemological approach (t}ari>qah ma’nawiyyah). Ibid., hlm. 183.
[11] Muh}yi ad-di>n ibn Zakariya> Yah}ya ibn Syarif an-Nawawi, al-Adka>r  (Surabaya: al-Hidayah, t.th), hlm.148.
[12] Wahbah az-Zuhayli>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh juz II  (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1989), hlm. 536.
[13] Mujiburrahman, Argumentasi Ulama Syafi’iyah Terhadap Beberapa Tuduhan Bd’ah (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2003), hlm. 268.
[14] Muh}yi ad-di>n ibn Zakariya> Yah}ya ibn Syarif an-Nawawi, al-Adka>r  , hlm. 7-8.
[15] Taqi> ad-Di>n Abi> Bakar ibn Muh}ammad al-H}usain al-H}us}ani, Kifayat al-Akhya>r (Indonesia: Al-Haramain, t.th), hlm. 207. Bandingkan Ah}mad ibn Hija>zi> al-Qasi>, Mawa>hib as}-S}amad  (Semarang: Toha Putra, t.th), hlm. 72.
[16] Imam al-Ghaza>li>, Ih}ya Ulu>m ad-Di>n, tah}qiq: Baidawi> (Baeru>t: Da>r al-Ulum, t.th), hlm. 235.
[17] Abdul Wahab al-Khalla>f, hlm. 324.
[18] Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyah (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 21.

1 komentar:

  1. YouTube Voucher for Videos - Voucher for Videos - Videodl.cc
    Videos · Videos.voucher voucher: youtube mp4 Videos.voucher voucher: Videos.voucher voucher: Videos.voucher voucher: Videos.voucher voucher: Videos.voucher voucher: Videos.voucher voucher: Videos.

    BalasHapus