A. Pendahuluan
Mempelajari al-Qur’an dan al-Hadis membutuhkan
kemampuan yang cukup, bahkan memerlukan seperangkan ilmu-ilmu, misal: Ilmu
Ulumul Qur’an, Ilmu Us}ul Fiqh, ilmu balaghah, ilmu mantiq dan ilmu ulumul hadis dan lain-lain.
Mempelajari al-Qur’an dan al-Hadis bertujuan untuk mencari hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya, baik yang bersifat aqidah, ibadah, dan muamalah.
Kemudian seseorang yang tidak mampu mempelajari
al-Qur’an dan al-Hadis diwajibkan untuk bertanya pada seseorang ulama agar
tidak sesat dalam hal apapu.[1] Sebagai
contoh ada seseorang bertanya (Mustafti>)
pada ulama yang bernama A. Hasan (Mufti>):
1. Apa hukum mentalqinkan
orang yang sudah mati dari atas kuburnya?[2]
2.
Adakah bat}al puasa orang yang dipompa
kemaluanya lantaran sakit kencing, orang yang di-injeksi dengan obat yang masuk
pada segala urat-urat badan, orang yang dipompa jalan buang air besarnya dengan
air sabun, lantaran payah buang air besar?[3]
B.
Jawaban A. Hasan (Mufti>) Pada
Seorang Mustafti>
a.
Pertanyaan Nomor
Satu
Talqin itu artinya mengajar. Maksudnya mengajarkan
orang mati untuk menjawab pertanyaan-pertayaan yang akan ditanyakan oleh
malaikat, atau mengajari orang mati apa-apa I’tiqad yang wajib ia imani sewaktu
masih hidup.
Konsep Talqin dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang s}ah}ih}, kemudian
talqin tidak pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat.
Adapun hadis yang yang diriwayatkan oleh at-Thabrani tentang
talqin, akan tetapi hadis tersebut D}aif
(lemah) dengan didukung oleh ahli-ahli Hadis
seperti: Ibnu Hajar, Ibnu Qayim, Ibnu S}alah}, Nawawi dan lain-lain.[4]
Kata
Imam Izzuddin yang artinya: Talqin bid’ah, tidak s}ah ditentang itu satu pun (Riwayat
dari Nabi)
Dalam
al-Qur’an dijelaskan:
إِنَّكَ
لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا
مُدْبِرِينَ (٨٠)
Artinya: Sesungguhnya kamu tidak
dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan
orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling
membelakang. (Q.S. Naml: 80)
وَمَا
يَسْتَوِي الأحْيَاءُ وَلا الأمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا
أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ (٢٢)
Artinya; dan tidak (pula) sama
orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi
pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada
sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar. (Q.S. Fat}ir: 22)
Kemudian dalil-dalil tentang
ketidakbolehan talqin, diantaranya: Firman Allah surat an-Nisa: 18
وَلَيْسَتِ
التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ
الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ وَلا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ
أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (١٨)
Artinya: Dan tidaklah taubat itu diterima
Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang
ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan :
"Sesungguhnya saya bertaubat sekarang". dan tidak (pula diterima
taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. bagi
orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.
A.
Hasan juga menambahkan sebagai berikut:[5]
1.
Maka apabila taubat diwaktu hampir mati itu, tidak
berguna, bagaimanakah ajaran sihidup kepada simati yang di dalam kubur itu bisa
bermanfaat.
2.
Kalau ajaran sihidup kepada orang yang di dalam kubur itu
berguna, mengapakah tidak mengajarkan orang-orang kafir.
3.
Kamu bacakan talqin itu dengan bahasa Arab. Maka apakah
keterang kamu yang menunjukan bahwa si mati mengerti.
4.
Kiyai-kiyai, Mudin (lebe-lebe) yang
berfikir serta berusaha menjadi guru bagi orang yang hidup, supaya kita
bersama-sama ini bermanfaat dan berarti.
Menurut sunah, bahwa apabila selesai dikuburkan, kemudian Nabi
Muhammad SAW berdiri seraya berkata kepada yang hadir di situ:
Artinya:
Mintakanlah ampun bagi saudara kamu ini dan mintakanlah Allah beri ketetapan
baginya, karena ia sekarang sedang diprikasa (H.R. Abu Dawud)
b. Pertanyaan
Nomor Dua
Menurut
al-Qur’an dan al-Hadis yang sahih, tidak ada yang membatalkan puasa, melainkan dua
perkara:
1. Hubunga
suami istri
2. Makan
dan minum
Sesuai dengan firman Allah SWT
أُحِلَّ لَكُمْ
لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ
لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ
فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا
كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ
إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (١٨٧)
Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam
mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
(al-Baqarah: 187)
Selain
dari dua itu tidak ada yang membatalkan puasa. Adapun hal pompa lobang kencing,
injeksi dengan obat yang masuk pada sekian urat-urat dan juga pompa lobang
buang air besar dengan air sabun sekalian, tidak masuk bilangan makan atau
minum atau berhubungan suami istri, oleh sebab itu tidak dapat dikatakan batal
puasanya dengan perbuatan-perbuata itu.
C. Metode Istinba>t} al-h}ukm A. Hasan
Secara etimologis istinba>t} berarti menggali dan mengeluarkan. Sedangkan
secara terminologis istinba>t} berarti mengeluarkan makna (pengertian) dari nas (teks) dengan kekuatan
akal pikiran dan potensi diri. Menurut Asjmuni Abdurrahman istinba>t} adalah mengeluarkan hukum dari dalil.[6]
Dengan demikian istinba>t} hukum adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan
menggunakan kemampuan akal pikiran dan kemampuan potensi diri untuk menggali
ataupun mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara‘ (sumber-sumber hukum syara‘)
dan kemudian menatapkannya. Istinba>t} hukum yang pada dasarnya merupakan usaha untuk memahami al-Qur’an dan
Sunnah secara benar dan bertanggung jawab, menggunakan metode tertentu dalam
prosesnya. Sekurang-kurangnya ada tiga metode istinba>t} hukum yang dikenal dalam hukum islam, yaitu metode
baya>ni>, ta’li>li>, dan istis}la>h}i>.[7] Dalam
wacana usul fikih, istinba>t} sangat
erat kaitanya dengan ijtihad.[8] Istinba>t} dan
ijtihad sesuatu hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ijtihad
merupakan bentuk penampakan luarnya, yakni segala usaha keras untuk
memperoleh hukum syara‘ terapan, sementara istinba>t} merupakan
bentuk oprasionalnya atau metodenya.
Ahmad Hasan
sendiri tidak pernah menyebut-nyebut tentang istinba>t} hukum
apalagi menyebutkan metodenya. Akan tetapi, dengan memperhatikan cara ia memahami
dan menyikapi kasus-kasus hukum maka metode ataupun kecenderungannya dalam
melakukan istinba>t} hukum
akan dapat diketahui. Adapun ciri utama yang secara umum mendasari karakter
pemikiran hukumnya yang mana hal ini sangat berpengaruh terhadap istinba>t} hukum
yang dilakukannya. Pertama, seruan yang selalu dikumandangkan untuk kembali
pada al-Qur’an dan Sunnah berimplikasi kuat pada karakter pemikiran hukumnya
yang menakankan pada dalil-dalil yang berasal dari kedua sumber pokok tersebut.
Karakternya yang seperti ini mirip dengan pemikiran hukum ahl al-Z}a>hir yang direpresentasikan oleh ibn H}azm dan Mazhab
Hanbali yang diwakili oleh ibn Taymiyyah. Sementara pada zaman modern ini,
pandanganya relatif dekat dengan pola pemikiran Ikhwan al-Muslimin di Mesir dan
Jamaat-i Islami di Pakistan.[9]
Kedua, A. Hasan memilahkan persoalan hukum ke dalam dua katagori besar, yakni
ibadat dan keduniaan (‘a>da>t,
mu’a>malat). Pemilahan setiap masalah hukum pada dua katagori, iba>da>t dan ‘a>da>t, bagi
Hasan sangat membantu dalam memecahkan banyak permasalahan hukum. Akan tetapi,
dalam beberapa kasus, pemilahan yang tegas seperti itu tidak mudah dilakukan
sehingga potensial menimbulkan perbedaan pendapat. Ketiga, secara umum dalam
mlakukan istinba>t} hukum
Hasan lebih banyak menggunakan pendekatan kebahasaan. Dengan demikian, metode istinba>t} hukumnya
dapat dimasukan dalam katagori metode baya>ni>, dimana dalam hal ini ia kemudian
terkesan sangat kuat memegang makna literal teks syara‘. Hal ini terlihat
terutama dari istinba>t} hukumnya
dari persoalan ibadat. Keempat, metode istinba>t} hukum
yang diterapkan Hasan umumnya bersifat sederhana. Sebagai contoh ia kurang
memperhatikan adanya ‘illah yang
menjadi dasar dalam penetapan hukum melalui qiya>s. Padahal ‘illah hukum
merupakan pemasalahan pelik yang selama ini menjadi bahan perdebatan serius dan
luas dikalangan fuqaha dalam
menetapkan hukum.[10]
Baginya istinba>t} hukum
tidaklah terlalu rumit untuk dilakukan oleh siapapun yang mememiliki
pengetahuan yang cukup untuk itu. Jadi dalam hal ini Hasan mencoba
memperlihatkan bahwa usul fikih, yang menjadi bekal utama dalam melakukan istinba>t} hukum,
tidaklah terlalu rumit untuk diterapkan sebagaimana kesan yang selama ini ada.
Di tanganya, usul fikih termasuk tentu saja istinba>t} hukum
menjadi mudah.
Sudah
menjadi kebiasaan bahwa setiap kali membahas persoalan-persoalan agama,
terutama persoalan yang melibatkan banyak dalil hukum, terlebih dahulu Hasan
membeikan dalil-dalil dari al-Qur’an dan Hadis yang relevan. Hal ini tentu saja
erat kaitanya dengan misi gerakan pembaharuannya yang selalu menekankan untuk
kembali pada al-Qur’an dan Sunnah, tidak terkecuali dalam membahas masalah
keagamaan.
Metode istinba>t} atau penalaran hukum yang ditempuh Hasan dalam
masalah talqin bagi orang mati dan hal yang membatalkan puasa ini akan mudah
dikuti manakala kita memahami beberapa karakter dasar pemikiran hukumnya
sebagaimana telah disinggung di atas. Sebagai seorang pembaharu yang menekankan
pada kemurnian ajaran dari kedua sumber pokok (al-Qur’an dan Sunnah). Dengan
misi dan paradigma pembaharuan ini, pola pemikiran hukumnya menjadi sangat
berorientasi pada nas syara‘, yakni ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah, lebih-lebih
dalam wilayah peribadatan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Hasan kemudian
dikenal sebagai seorang yang sangat tekstual dalam pandangan-pandangan
hukumnya.
Maka dari itu penghukuman talqin orang yang sudah
mati dan hal yang membatalkan puasa mendasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak mengatur bolehnya talqin orang yang sudah mati
dan juga dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak ada yang membatalkan puasa kecuali
makan dan minum.
D. Pandangan Ulama
Tentang Talqin dan Hal yang membatalkan Puasa
a.
Tentang Talqin orang
yang sudah meninggal
Hukum mentalqin orang yang sudah meninggal hukumnya sunah.
Berikut ini diketengahkan beberapa fatwa ulama yang terdapat dalam kitab-kitab
fiqh asy-Sya>Fi’i yang
sudah lama beredar di seluruh dunia dan banyak dikaji di pondok-pondok
pesantren.
1. Menurut Muh}yi ad-di>n ibn Zakariya> Yah}ya ibn Syarif
an-Nawawi>, dalam
kitab al-Adka>r mengatakan: Adapun membaca talqin untuk mayit sesudah dia
kuburkan, maka banyak sekali sahabat-sahabat kita para ulama madzhab asy-Sya>fi’i yang
berfatwa tentang kesunatanya. Diantara ulama tersebut adalah: al-Qa>di> H}usain, Abu> Said
al-Mutawali>, Abu> al-Fath Nas}r ibn Ibra>hi>m ibn Nas}r
al-Muqadasi>, Abu> Qa>sim ar-Ra>fi’i.[11]
Dengan
demikian fatwa tentang sunnatnya talqin ini tidak hanya dikeluarkan oleh
ulama-ulama khalaf melainkan juga ulama-ulama salaf.
2. Wahbah
az-Zuhayli>, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh, menyatakan “Disunnahkan menurut ulama-ulama
asy-Sya>Fi’i
dan Hanbali membacakan talqin untuk mayit mukallaf sesudah
dia dikuburkan.[12]
Dan masih banyak lagi ulama-ulama yang
memperbolehkan talqin orang yang sudah meninggal.
Menurut
peneltian ulama, hadis yang menjadi dasar pembolehan talqin merupakan hadis d}aif, dimana dalam hadis tersebut
terdapat nama Ashim ibn Ubaidilla yang oleh Ibnu Khzaimah dikatakan sebagai
orang yang kuat hafalanya. Namun demikian para tokoh-tokoh di atas tetap
memfatwakan bahwa talqin itu sunnah hukumnya walaupun para tokoh tersebut
mengetahui prihal ked}aifan hadis tersebut.[13]
Para
ulama tersebut mempunyai alasan, diantaranya: Talqin itu hanyalah “Keutamaan
Amal” yaitu amalan-amalan yang mengandung keutamaan yang terdiri dari do’a-do’a
dan Zikir. Menurut Imam Nawawi> adalah: “Berkata para ulama dari
kalangan ahli hadis, fuqaha dan yang lainnya bahwa boleh bahkan disukai
menggunakan hadis-hadis d}aif dalam hal keutamaan amal. Ini jika hadis d}aif
tidak tergolong
maud}u
(hadis palsu).
Adapun dalam perkara hukum seperti halal dan haram, jual-beli, nikah, talaq dan
lain-lainya, maka tidak boleh dipakai kecuali hadis yang sah}ih}
dan h}asan.[14]
b.
Hal-hal yang
membatalkan puasa
Dalam
literature fiqh hal-hal yang membatalkan puasa ada sepuluh, diantaranya sebagai
berikut:[15]
1)
Makan Minum
2)
Memasukan sesuatu lewat kepala
3)
Memasukan obat-obatan lewat qubul dan dubur
4)
Sengaja muntah
5) Wat}i
atau berhubungan suami istri
6)
Keluar mani (seperma) secara disengaja
7) H}aid}
8)
Nifas
9)
Gila
10) Murtad.
Bahkan
menurut Imam Ghazali ada hal-hal yang membatalkan pahala puasa diantaranya:[16]
1)
Berkata bohong
2)
Mengumpat
3)
Fitnah
4)
Melihat wanita dengan sahwat
5)
Sumpah palsu.
Dengan
mengacu pada hal di atas maka memasukan obat-obatan ke tempat buang air besar
atau kecil itu membatalkan puasa. Namun apabila hal tersebut tidak dilaksanakan
maka akan menimbulkan kematian, maka hal tersebut diperbolehkan sesuai dengan
kaidah fiqh:
الضّرر يزال شرعا[17]
Kemudian
kaidah lain yang serupa:
الْحَاجةُ تنْزِلُ
مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ عامَّةً أوْ خاصَّةً [18]
E.
Kesimpulan
Metode istinba>t} hukum
sangat perpengaruh pada hasilnya. Hasan memakai metode istinba>t} hukum baya>ni> dan juga kurang memperhatikan ‘illah hukum sehingga hukum yang dihasilkanya
mengacu pada teks al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga Hasan juga disebut sebagai
orang yang tekstual, yang artinya hanya berdasar pada al-Qur’an dan Sunnah.
Kemudian ulama-ulama terdahulu dan kontemporer
dalam memaknai nas selalu memperhatikan illah hukumnya yang bertujuan
untuk kehati-hatian dalam memberikan fatwa.
Penulis setuju dengan pendapat para ulama yang
menyatakan bahwa mentalqinkan orang yang sudah meninggal hukumnya sunnah,
memasukan obat lewat jalan buang air besar atau kecil itu diperbolehkan jika
memang sudah tidak ada jalan lain kecuali dengan cara tersebut (d}arurat).
Daftar Pustaka
al-Khalla>f, Abdul Wahab, Ilmu Us}u>l Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad
Qorib, Semarang: PT. Toha Putra Group, 1994.
al-Ghaza>li>,
Imam, Ih}ya Ulu>m ad-Di>n, tah}qiq: Baidawi>, Baeru>t:
Da>r al-Ulum, t.th.
an-Nawawi,
Muh}yi ad-di>n ibn Zakariya> Yah}ya ibn Syarif, al-Adka>r, Surabaya: al-Hidayah, t.th.
az-Zuhayli>, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh juz II, Damaskus:
Da>r al-Fikr,
1989.
Asjmuni
Abdurrahman, Metode Penetapan Hukum, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang,
1986.
Aziz, Jamal Abd., Dikotomi Ibadat dan Adat Dalam Hukum
Islam, Purwokerto: STAIN Press, 2009.
Hasan,Ahmad,
Soal Jawab Tentang Berbagai masalah agama, cet. 15, Bandung: Diponogoro,
2007.
Hija>zi>, Ah}mad ibn al-Qasi>, Mawa>hib
as}-S}amad, Semarang: Toha Putra, t.th.
Mujiburrahman,
Argumentasi Ulama Syafi’iyah Terhadap Beberapa Tuduhan Bd’ah, Surabaya:
Mutiara Ilmu, 2003.
Muh}ammad, Taqi> ad-Di>n Abi> Bakar ibn
al-H}usain al-H}us}ani, Kifayat al-Akhya>r Indonesia: Al-Haramain, t.th.
Suraji, Muhammad, Fatwa Hukum Islam, Modul Tidak
Diterbitkan. Purwokerto: STAIN Purwokerto, t.th.
Washil, Nashr Farid
Muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyah, Jakarta: Amzah,
2009.
[1] Lihat al-Qur’an al-Anbiya: 7
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٧)
Artinya: Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang
berilmu, jika kamu tiada mengetahui.
[2]
Ahmad Hasan, Soal Jawab Tentang Berbagai masalah agama, cet. 15
(Bandung: Diponogoro, 2007), hlm. 212.
[3]
Ibid, hlm. 231.
[4]
Ibid., hlm. 212.
[5]Ibid.,
hlm. 213.
[6]
Asjmuni Abdurrahman, Metode Penetapan Hukum, cet. I (Jakarta: Bulan
Bintang, 1986), hlm. 1.
[7]
Metode baya>ni>
lebih menekankan pada kajian makna teks dari berbagai aspek kebahasaan seperti makna lafaz dan susunan
kalimatnya, serta cenderung mengabaikan kondisi sosial yang ada. Sedangkan dua
metode berikutnya relatif lebih banyak memperhatikan kondisi sosial dan
perkembangan masyarakat sehingga hasil istinba>t}-nya kadang-kadang berbeda dengan arti harfiah teks
(nas). Jadi secara garis besarnya metode ini dibedakan menjadi dua, yaitu
metode analisis kebahasaan (manhaj baya>ni>) yang tergabung dalam kelompok al-qawa>‘id
al-lughawiyyah dan metode analisis nalar. Metode yang
terakhir ini dibagi dua, yaitu analisis ‘illat hukum (manhaj ta’li>li>) dan metode analisis al-mas}a>lih}
al-mursalah (manhaj
istis}la>h}i>). Lihat Jamal Abd. Aziz, Dikotomi Ibadat dan Adat Dalam
Hukum Islam (Purwokerto: STAIN Press, 2009), hlm. 181 Bandingkan dengan
Muhammad Suraji, Fatwa Hukum Islam, Modul Tidak Diterbitkan. Purwokerto:
STAIN Purwokerto, t.th., hlm. 58-61.
[8] Ijtihad adalah Mencurahkan segenap usaha untuk sampai kepada hukum syara’ dari
dalil-dalil tafsili yang termasuk dalil syar’i. Lihat Abdul
Wahab al-Khalla>f, Ilmu
Us}u>l
Fiqh, terj. Moh.
Zuhri dan Ahmad Qorib (Semarang: PT. Toha Putra Group, 1994), hlm. 338.
[9]
Akh. Minhaji dalam Jamal Abdul Aziz, Dikotomi Ibadat dan Adat...hlm.
182.
[10]Minhaji
menyebutkan bentuk pendekatan Hasan ini dengan etymological approach (t}ari>qah lafz}iyyah)
dan epistemological approach (t}ari>qah
ma’nawiyyah). Ibid., hlm. 183.
[11]
Muh}yi
ad-di>n ibn Zakariya> Yah}ya ibn Syarif an-Nawawi, al-Adka>r (Surabaya:
al-Hidayah, t.th), hlm.148.
[12]
Wahbah az-Zuhayli>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh juz II (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1989), hlm. 536.
[13]
Mujiburrahman, Argumentasi Ulama Syafi’iyah Terhadap Beberapa Tuduhan Bd’ah (Surabaya:
Mutiara Ilmu, 2003), hlm. 268.
[15]
Taqi> ad-Di>n
Abi> Bakar ibn Muh}ammad al-H}usain al-H}us}ani, Kifayat al-Akhya>r
(Indonesia: Al-Haramain, t.th), hlm. 207. Bandingkan Ah}mad ibn Hija>zi>
al-Qasi>, Mawa>hib as}-S}amad (Semarang: Toha Putra, t.th), hlm. 72.
[16]
Imam al-Ghaza>li>, Ih}ya
Ulu>m ad-Di>n, tah}qiq: Baidawi> (Baeru>t: Da>r al-Ulum, t.th),
hlm. 235.
[18]
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyah (Jakarta:
Amzah, 2009), hlm. 21.
YouTube Voucher for Videos - Voucher for Videos - Videodl.cc
BalasHapusVideos · Videos.voucher voucher: youtube mp4 Videos.voucher voucher: Videos.voucher voucher: Videos.voucher voucher: Videos.voucher voucher: Videos.voucher voucher: Videos.voucher voucher: Videos.