A.
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah
kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui pelantara malaikat Jibril ke dalam
hati rusulallah Muhammad bin Abdullah dengan lafadz yang berbahasa Arab dan
makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai
Rasulallah, menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan
menjadi qurbah di mana mereka beribadah dengan membacanya. Hukum yang
terkandung dalam al-Qur’an itu ada tiga macam, yaitu: hukum-hukum
I’itiqadiyyah, hukum moralitas dan hukum amaliyah yang bersangkut paut dengan
sesuatu yang timbul dari mukallaf. [1]
Dari klasifikasi
al-Qur’an yang terbagai menjadi tiga, penulis berfokuskan pada al-Qur’an yang
menyangkut hukum-hukum amaliayah. Disamping itu, hukum amaliyah terbagi menjadi
dua yakni hukum-hukum ibadah dan hukum-hukum muamalat. Dan disinilah penulis
tekankan pada hukum-hukum muamalat khususnya tema aqad (perjanjian).
Bahasan ini akan
menitikberatkan bagaimana Al-Qur’an dalam menanggapi permsalahan-permasalahan perjanjian pada saat
ini, sehingga perjanjian yang seperti apakah yang dicita-citakan al-Qur’an.
B.
Perjanjian Dalam
Prepektik Hukum Islam
a.
Pengertian
Perjanjian
Perjanjian atau perikatan secara etimologi perjanjian
atau perikatan adalah ikatan. Sedangkan menurut terminology perjanjian atau
perikatan adalah suatu perbuatan dimana seseorang mengikatkan dirinya kepada
seorang atau beberapa lain.[2] Menurut
Abdulkadir Muhammad perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau
lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangangan
harta kekayaan.[3]
Sedangkan menurut hukum islam perjanjian berasal dari
kata aqad عقد)) yang secara etimologi berarti
“menyimpulkan”.[4]
جمع
طرفي حبلين و يشذّ احدهما بالأخر حتى يتصلا فيصبحا كقطعة واحدة
Artinya: “mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan
yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sepotong benda”.[5]
Sedangkan menurut istilah sesuatu yang dengannya akan
sempurna perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain,
dan kemudian karenanya timbul ketentuan/ kepastian pada dua sisinya.[6]
ارتبط
الايجاب بقبول على وجه مشروع يثبت الترضى
Artinya: “perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan
keridhan kedua belah pihak”.[7]
Menurut Abdul Aziz Muhammad kata aqad
dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat. Dari sinilah
kemudian makna aqad diterjemahkan secara bahasa sebagai: “menghubungkan antara
dua perkataan, masuk juga di dalamnya janji dan sumpah, karena sumpah
menguatkan niat berjanji untuk melaksanakanya isi sumpah atau meninggalkanya.
Demikan juga dengan janji halnya dengan janji sebagai perekat hubungan antara
kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkanya”.[8]
Dengan demikian definisi baik dari
kalangan ahli hukum perdata dan ahli hukum islam ada persamaan dimana titik
temunya adalah kesepakatan untuk mengikatkan diri dengan seorang lainya.
Dalam setiap perikatan akan timbul
hak dan kewajiban pada dua sisi. Maksudnya, pada satu pihak ada hak untuk
menuntut sesuatu dan pihak lain menjadi kewajiban untuk memenuhinya. Sesuatu
itu adalah prestasi yang merupakan hubungan hukum yang apabila tidak dipenuhi
secara sukarela dapat dipaksakan, bahkan melalui hakim.
Karena merupakan suatu hubungan,
maka suatu akad (perjanjian) dapat timbul karena perjanjian, yakni dua pihak
saling mengemukakan janjinya mengenai perstasi. Misalnya jual beli, sewa
menyewa, dan lain-lain.
b. Asas Perjanjian dalam Hukum Islam
1. Asas Ibahah (mabda’ al-Ibahah)
Asas ibahah adalah asas umum hukum islam dalam bidang
muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam andigum:
الاصل في
المعاملة الاباحة حتى يدل على دليل لتحريم
Artinya: Pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan
sampai ada dalil yang melarangnya.
Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam
masalah ibadah. Dalam hukum islam, untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas:
“Bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam
dalil-dalil syari’ah”.
2. Asas Kebebasan Beraqad (mabda’
huriyyah at-ta’aqud)
Hukum islam mengakui kebebasan beraqad, yaitu suatu prinsip
hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat aqad atau jenis apapun
tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang
syari’ah dan memasukan klausula apa saja ke dalam aqad yang dibuatnya sesuai
dengan kepentinganya sejauh tidak berakibat makan harta sesame dengan batil.
Namun demikian, di lingkungan madzhab-madzhab yang berbeda terdapat perbedaan
pendapat mengenai luas-sempitnya kebebasan tersebut. Nas-nas Al-Qur’an dan
Sunah Nabi saw. serta kaidah-kaidah hukum islam menunjukan bahawa hukum islam
menganut asas kenbebasan berkontrak (aqad). Asas kenbebasan beraqad ini merupakan
konkritisasi lebih jauh dari sepesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas
ibadah dalam mumalat.
3. Asas Konsensualisme (mabda’
ar-radhaiyyah)
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu
perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu
dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hadis Nabi
أخبرنا الحسن بن سفيان أخبرنا سعيد بن عبد الجبار أخبرنا الدراوردي
عن داود بن صالح بن دينار التمار عن أبيه عن أبي سعيد الخدري : أن يهوديا قدم زمن النبي
صلى الله عليه و سلم بثلاثين حمل شعير وتمر فسعر مدا بمد النبي صلى الله عليه و سلم
وليس في الناس يومئذ طعام غيره وكان قد أصاب الناس قبل ذلك جوع لا يجدون فيه طعاما
فأتى النبي صلى الله عليه و سلم الناس يشكون إليه غلاء السعر فصعد المنبر فحمد الله
وأثنى عليه ثم قال : ( لا ألقين الله من قبل أن أعطي أحدا من مال أحد من غير طيب نفس
إنما البيع عن تراض ولكن في بيوعكم خصالا أذكرها لكم : لا تضاغنوا ولا تناجشوا
ولا تحاسدوا ولا يسوم الرجل على سوم أخيه ولايبيعن حاضر لباد والبيع عن تراض وكونوا
عباد الله إخوانا )
4. Asas Janji Mengikat
5. Asas Keseimbangan (mabda’ at-tawazun
fi al-mu’awadhah)
Secara factual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak
dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian islam tetap menekankan perlunya
keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang
diterima maupun keseimbangan dalam memikul risiko. Asas keseimbangan dalam
transasksi (antara apa yang diberikan apa yang diterima) tercermin pada
dibatalkanya suatu aqad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang
mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap
transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala
risiko atas kerugian usaha, sementara krditor bebas sama sekali dan harus
mendapat prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian
negative.
6. Asas Kemaslahatan (tidak memberatkan)
Asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa aqad yang akan dibuat
oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak
boleh menimbulkan kerugian atau keadaan yang memberatkan. Apabila dalam
pelaksanaan aqad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui
sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak yang bersangkutan
sehingga memberatkanya, maka kewajibanya dapat diubah dan disesuaikan kepada
batas yang masuk akal.
7. Asas Amanah
Asas Amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah
beritiqad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainya dan tidak dibenarkan
salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa
kini banyak sekali objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui
suatu keahlian yang amat sepesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga
ketika ditansaksikan, pihak lain menjadi mitra tarnsaksi tidak banyak
mengetahui seluk beluknya. Oleh karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak
yang menguasainya.
8. Asas Keadilan
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua
hukum. Dalam hukum islam, keadilan langsung merupakan perintah al-qur’an (QS.
5:8). Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Sering kali dizaman modern aqad ditutup oleh satu pihak dengan pihak lain tanpa
ia memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausula aqad
tersebut, karena klausula aqad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak
mustahil bahwa dalam pelaksanaanya akan timbul kerugian kepada pihak yang
menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam hukum islam
kontemporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dapat
diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan untuk itu.[9]
c.
Konsekuensi
Perjanjian Dalam Prespektif Hukum Islam
Perjanjian dalam prespektif hukum islam harus dipenuhi sesuai
dengan Firman Allah:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah olehmu aqad-aqad (perjanjian) itu[10].
(Q.S. Al-Maidah:1)
Al-Biaqi mengemukakan hubungan yang
lebih rinci. Menurut beliau pada akhir surat an-Nisa: 164, telah diuraikan
bahwa orang-orang Yahudi yang melakukan kedzaliman dengan mengabaikan
perjanjian mereka dengan Allah swt, telah dijatuhi sanksi; yakni berupa
diharamkanya atas mereka (orang-orang Yahudi) yang baik-baik yang telah
dihalalkan bagi merka, Al-anam: 45.
Dengan demikian sangat wajar dan
amat sesuai bila dengan tuntunan kepada orang beriman untuk memenuhi akad
(perjanjian). Menurut Zaid Bin Aslam berpendapat yang dikutip oleh Ibnu Katsir
dalam tafsirnya, bahwa aufu bil uqud ada enam. [11]
1. Abdullah (perintah
dan larangan Allah)
2. Aqdul hilf (perjanjian
persekutuan suku)
3. Aqdul bai (perjanjian
jual beli)
4. Aqdun nikah (perjanjian
perkawinan atau aqad perkawinan)
5. Aqdul yamin (perjanjian
sumpah).
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, akad (perjanjian) ada
empat:[12]
1. Perjanjian dengan Allah. SWT;
2. Perjanjian dengan sesame manusia;
3. Perjanjian dengan diri sendiri;
4. Perjanjian yang halal.
Kalimat awal pada surat al-Maidah:
1 ( ياءيها الذين امنوا ) merupakan panggilan yang mesra. Dalam konteks ini dirwayatkan
bahwa sahabat Nabi saw. Ibn Mas’ud berkata: “jika anda mengengar panggilan ilahi
ya ayuha alladzina amanu, maka siapkanlah dengan baik pendengaranmu, karena
sesungguhnya ada kebaikan yang Dia perintah atau keburukan yang Dia larang.[13]
Kata “al-uqud” adalah jamak
dari kata “aqad” yang pada mulanya berarti mengikat sesuatu dengan sesuatu
sehingga tidak menjadi baginya dan tidak terpisah dengannya.
Dalam ayat al-Maidah: 1 ada lafadz
أوفو
yang artinya “penuhilah” dimana dalam bahas Arab disebut fi’il amr
(kata-kata perintah) yang implikasinya jika lafadz yang khusus dalam suatu nash
yang di dalamnya mengandung arti perintah maka
menunjukan hukumnya adalah wajib; [14]
الاصل
فى الامر للوجوب ولا تدلّ على غير الاّ بقرينة
Perintah ayat ini menunjukan betapa al-Qur’an sangat
menekankan perlunya memenuhi akad dalam segala bentuk dan maknanya dan
pemenuhan sempurna, kalau perlu melebihkan dari yang seharusnya, serta mengecam
orang-orang yang menyiayiakanya.
Hadis Nabi Muhammad saw:
و عن ابي رافع قال : قال النبي ص.م : اني لا اخيس بالعهد و لا
احبس الرسل (راواه ابو داود و النسائ و صححه ابن حبان )
Artinya: Sesunggunhnya aku tidak menyalahi janji, dan tidak
menahan utusan (H.R. Abu Dawud dan An-Nasai dan disahihkan oleh Ibnu Hibban).
Dan juga Hadis Nabi:
حدث ابن مسعود
انه قال ايما بيعين تبايعا فالقول البائع او يترادان
Artinya: Hadis dari Ibnu Masud,
siapa saja dua orang yang berjual beli. Maka yang menjadi pegangan adalah
perkataan penjual atau saling mengembalikan.[15]
Hadis ini memberikan petunjuk bahwa Nabi Muhammad saw selalu
tepat janji atau tidak mengingkari janji. Dengan demikian sebagai seorang
muslim seharusnya mencontoh nabi dalam hal membuat perjanjian.
Selain itu perjanjian itu wajib ditepati jika tidak
mempunyai cacat pada perjanjiannya.[16]
Artinya perjanjian itu wajib ditepati jika sesuai dengan syari’at (bukan
perjanjian yang menimbulkan mafsadat).
Sesuai dengan definisi perjanjian dimana yang berarti aqad
yang secara harfiah berarti ikatan atau kewajiban yang dimaksudkan oleh kata
lain adalah “mengadakan ikatan persetujuaan”. Pada saat dua kelompok mengadakan
perjanjian, yakni ikatan untuk member dan menerima bersama-sama dalam satu
waktu. Kewajiban yang timbul akibat perjanjian itu disebut al-Uqud.[17]
Disamping itu, dalam syari’ah perjanjian yang dibuat hanya ketika satu kelompok
memindahkan sesuatu pada kelompok ia berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
dan kelompok yang lain menerima perpindahan harta tersebut. Memberi dan
menerima harus dibuat dalam keadaan bebas merdeka tanpa tekanan. Pertimbangan
itu harus sah menurut hukum. Kelompok-kelompok ittu harus juga diakui atas
hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka.
Konsekuwensi dari perjanjian itu adalah Penyerahan.
Penyerahan adalah langkah pertama dalam pembuatan perjanjian. Penyerahan ini
dibuat dalam berbagai cara diantaranya:
1.
Disampaikan secara verbal
(bi al-kalam). Bentuk penyerahan ini dilakukan dalam pertemuan langsung.
2.
Disampaikan secara tertulis
(bi al-Kitabah). Bentuk penyerahan ini menjadi efektif segera setelah surat
yang dibuat itu menunjukan bahwa orang tersebut menyerahkan dan tetap akan
menerima sampai diterima oleh penerima. Penyerahan ini harus dilakukan secara
langsung.
3.
Dapat dilakukan dengan
pesan yang dikirim dengan seseorang. Orang yang jujur dan terpercaya, dan
penyerahan itu diterima dengan penerimaan yang baik. Para ulama Maliki, Syafi’i,
Hanbali, berpendapat bahwa penyerahan itu harus dilakukan oleh pemilik harta
dalam mengembalikan konsiderasi. Namun para ulama Hanafi mengatakan bahwa
penyerahan itu berasal dari satu kelompok.
4.
Dibuat melalui tanda-tanda
dan terutama lewat isyarat pada semua kasus di mana orang yang menyerahkan itu
adalah tuli atau bisu atau ketika penerima tidak memahami bahasa orang yang
menyerahkan Mazhab Maliki berpandangan sebagai sahih tanda-tanda yang diketahui
yang dibuat seseorang yang normal sekalipun karena ide yang penting adalah
bahwa orang yang menyerahkan itu harus mengkomnikasikan penyerahanya.
5.
Dibuat dengan perbuatan
(fi’il). Penyerahan yang dibuat lewat perantara barang adalah sahih menurut
Mazhab Maliki, namun penyerahan itu tidak dapat dilakukan secara
sembunyi-sembunyi.
d.
Pembatalan
Perjanjian
Waktu antara keputusan menyerahkan
dan menerima ini disebut Majelis al-Aqad. Para ulama Hanafi dan Maliki
menyatakan bahwa orang yang menyerahkan mempunyai pilihan untuk membatalkan
penyerahannya sebelum barang yang diperdagangkan itu diterima. Begitu pula
orang yang menerima mempunyai kesempatan untuk menata mentalnya apakah menerima
atau menolak penyerahan itu, kiranya adil kalau orang yang menyerahkan itu
mempunyai hak untuk membatalkan penyerahanya sebelum penerimaan diputuskan.
Mungkin sekali bahwa penyerahan yang dilakukan oleh orang tersebut boleh jadi
salah atau lupa memasukan sesuatu, karenanya orang tersebut boleh cepat-cepat
membatalkan penyerahanya sementara kelompok yang lain sedang sibuk menata
pikiranya apakah menerima atau menolak penyerahan itu.[18]
Pembatalan itu dibolehkan sesuai
dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
من اقال مسلما اقاله الله عشرته
Artinya: “Barang siapa menerima
permintaan seorang muslim untuk membatalkan aqad maka Allah akan mengampuni
kesalahnya” (HR. Abu Dawud dan Ibu Majah)
Dalam fiqh pembatalan aqad disebut iqalah.
Iqalah boleh dilakukan sebelum barang diterima. Di dalamnya tidak ada
khiyar majelis, khiyar syarat, atau suf’ah (perioritas sekutu atau tetangga
untuk membeli barang) karena itu bukan jual beli.
Apabila aqad telah dibatalkan maka
masing-masing dari kedua orang beraqad mengambil kembali apa yang sebelumnya
dimilikinya. Pembeli mengambil uang, penjual mengambil barang yang dijual.
Apabila barang yang dijual telah rusak, atau orang yang melakukan aqad telah
mati, atau harga telah naik atau turun maka iqalah (pembatalan aqad) tidak sah.[19]
e.
Contoh Perjanjian (aqad)
dalam Hukum Islam
Contoh perjanjian atau perikatan yang
sahih adalah:
1.
Al-Ba’i (jual beli)
2.
Hawalah (pemidahan
hutang)
3.
Syirkah
(perkongsian)
4.
Mudharabah
(Kerjasama bagi hasil)
5.
Wakalah (perwakilan)
6.
Dhaman (Garansi)
7.
Ijarah
(sewa-menyewa)
Disamping perjanjian atau perikatan
yang sahih ada juga perjanjian atau perikatan yang diharamkan oleh Syar’i,
diantaranya:
1.
Dua aqad dalam suatu
perdagangan[20]
2.
Tambahan syarat diberikan
untuk penjualan[21]
3.
Perdagangan al-Mulamisah
dan Al-Munabihah[22]
4.
Penjualan yang bukan haknya[23]
5.
An-Najasy[24]
6.
Talaq Rukban[25]
7.
Bai’ Hadir libadi[26].
C.
Kesimpulan
Hukum perjanjian dalam prespektif
islam sebetulnya tidak jauh berbeda dengan hukum pejanjian yang termuat dalam
Kitab undang-undang hukum perdata (KUHAPerdata). Dalam hukum perjanjian islam
lebih menekankan pada aspek teologis sehingga aturan-aturan dalam hukum
perjanjian ini mengacu pada al-Qur’an dan Hadis. Hukum perjanjian ini
seyognyanya bisa direalisasikan dengan menyesuaikan dengan
perjanjian-perjanjian yang berlaku di Negara Indonesia.
Hadis Nabi:
اربع من كنّ فيه كان
منافقا خالصا ومن كانت فيه خصلة منهنّ كانت فيه خصلة من النفاق حتى يدعها : اذا
حدث كذب و اذا وعد اخلف و اذا عاهد غدر واذا خاصم فجر
Artinya: Perkara
empat, barang siapa yang memiliki seluruhnya dalam keperibadianya maka dia
adalah munafik sejati. Dan barang siapa mempunyai salah satu dari padanya maka
dia mempunyai keperibadian munafik sehingga ditinggalkanya: Bila berbicara,
bohong. Bila berjanji, menyalahinya. Bila mengadakan persetujuan terhadap suatu
masalah, cidra. Bila berbantahan, berkata jelek”. (HR. Bukhari dan Muslim)[27]
Dengan demikian
sebagai seorang muslim harus menepaji janji-janji baik yang berhubungan dengan
Allah dan hubungan dengan sesama manusia.
Makalah ini sekedar memberitahukan
bagaimana hukum islam mengatur dalam urusan perjanjian. Sehingga menambah
wawasan yang luas.
DAFTAR PUSTAKA
al-Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu
Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib. Semarang: Toha Putra Group,
1994.
al-Mahalli,
Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin as-Suyuhti. Tafsir Jalalain, terj.
Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004.
al-Malybari,
Zainuddin Ibnu Abdul Aziz. Irsadul Ibad, terj. Mahrus Ali. Surabaya:
Mutiara Ilmu, 1995.
Anwar, Syamsul. Hukum
Perjanjian Syari’ah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqh
Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam. Jakarta: Amzah, 2010.
Bik, Hudhari. Tarikh
Al-Tasyri’ Al-Islami: Sejarah Pembinaan Hukum Islam, terj. Moh. Zuhri. Indonesia:
Darul Ihya, t.th.
I.Doi, Abdur Rahman. Syari’ah
The Islamic Law, terj. Zaimuddin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996.
Katsir, Ibnu. Muhtasar
Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy. Surabaya: t.tp,
2004. II.
Kuzari, Achmad. Nikah
Sebagai Perikatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum
Perikatan. Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1990.
Rusdy, Ibnu. Bidayatul
Muztahid fi Nihayatut Muqtasid. Surabaya: Al-Hidayah, t.th.
Sabiq, Sayid. Fiqhu
As-Sunah, terj. Mujahidin Muhayan. Jakarta: Pena Pundi Askara, 2008.
Shihab, M. Quraish. Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati,
2004. III.
Suhendi, Hendi. Fiqh
Mumalah:Membahas Ekonomi Islam Kedudukan Harta, Hak Milik, Jual Beli, Bunga
Bank dan Riba, Musyarakah, Ijarah, Mudayanah, Koperasi, Asuransi, Etika Bisnis
dan lain-lain, cet. V. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Syafei, Rachmat. Fiqh
Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Tutik, Titik Triwulan. Hukum
Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2008.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab
Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus, t.th.
[1]
Abdul Wahab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad
Qarib (Semarang: Toha Putra Group, 1994), hlm. 18. Lihat juga Hudhari Bik, Tarikh
Al-Tasyri’ Al-Islami: Sejarah Pembinaan Hukum Islam, terj. Moh. Zuhri (Indonesia:
Darul Ihya, t.th), hlm. 5.
[2]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 221. Dan juga dalam pasal 1313 KUHPerdata.
[3]
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung:
Citra Aditiya Bakti, 1990), hlm. 78.
[4]
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus, t.th),
hlm. 274.
[5]
Hendi Suhendi, Fiqh Mumalah: Membahas Ekonomi Islam Kedudukan Harta, Hak
Milik, Jual Beli, Bunga Bank dan Riba, Musyarakah, Ijarah, Mudayanah, Koperasi,
Asuransi, Etika Bisnis dan lain-lain, cet. V (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2007), hlm.44.
[6]
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995), hlm. 1.
[7]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah…hlm. 46.
[8]
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam (Jakarta:
Amzah, 2010), hlm. 15.
[9]
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah: Studi tentang Teori Akad dalam
Fikih Muamalat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 92.
[10]
Aqad (perjanjian) mencakup:
janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam
pergaulan sesamanya. Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuhti,
Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar, Cet. 10 (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2004), I. 445.
[11]
Ibnu Katsir, Muhtasar Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said
Bahreisy, (Surabaya: t.tp, 2004), II. 3.
[12]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, Cet.
II (Jakarta: Lentera Hati, 2004), III. 6.
[13]
Ibid…III. 7.
[14]
Abdul Wahab al-Khallaf,,, hlm. 305.
[15]
Ibnu Rusdy, Bidayatul Muztahid (Surabaya: Al-Hidayah, t.th), II.128.
[16]
Hukum positif yang berlaku di Indonesia yang tertuang dalam Kitab Undang-undang
Perdata dalam pasal 1320 yang berbunyi:
“untuk
sahnya perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka mengikatkan diri,
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3. Suatu hal tertentu, 4. Suatu
sebab yang halal.”
[17]
Abdur Rahman I.Doi, Syari’ah The Islamic Law, terj. Zaimuddin dan Rusydi
Sulaiman (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 16. Bandingkan
Rachamat Syafei, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm.
46-49.
[18]
Ibid..hlm. 19.
[19]
Sayid Sabiq, Fiqhu As-Sunah, terj. Mujahidin Muhayan (Jakarta: Pena
Pundi Askara, 2008), IV. 65.
[20]
Dua aqada dalam satu perdagangan diharamkan, sesuai dengan hadis nabi:
نهى
النبى صلى الله عليه و سلم عن بيعتين في بيعه (HR. An-Nasai dan Tirmidzi)
Hadis ini yang menyatakan
bahwa pengharaman dua aqad dalam satu transaksi jual beli. Lihat Yoga Prasetya
dan Sobri, “Tinjauan MLM dalam Prespektif Hukum Islam”. Makalah tidak
diterbitkan Purwokerto: STAIN Jurusan Syari’ah Muamalah.
[21]
Sada Nabi:
نهى
رسول الله صلى الله عليه و سلم عن بيع و شرط(HR. Tibrani)
Rasulullah
saw. Melarang membubuhkan syarat tambahan dengan aqad penjualan”. Aqad jual
beli tidak boleh dicampur aduk dengan syarat persetujuan.
[22]
Sabda Nabi:
نهى
رسول الله ص.م عن ملامسة و المنابذة (HR. Al-Bukhari)
Rasulallah
melarang aku untuk menjual sesuatu yang bukan milikiku atau menjual sesuatu
yang tidak jelas dan tidak tampak secara nyata.
[23]
Sabda Nabi:
نهى
رسول الله ص.م أن بيع ما ليس عندى (HR. At-Tirmidzi)
Rasulallah
melarang aku menjual sesuatu yang bukan miliku
[24]
Sabda Nabi:
نهى
رسول الله ص.م عن النجش(HR.
Al-Bukhari)
Rasulallah
melarang jual beli dengan barang yang najis.
[25]
Sabda Nabi:
نهى
رسول الله ص.م عن تلق الركبان (HR. Al-Bukhari)
Rasulallah
melarang pergi ke kampong dan menemukan kafilah dagang dengan maksud menipu
perfagangan kampng itu dengan harga yang terlalu murah.
Diantara bentuk penipian
adalah mencegat barang yang didatangkan dari luar. Hal ini terjadi ketika
kafilah dagang membawa barang-barang daganganya, lalu seorang laki-laki
mencegat mereka sebelum memasuki kota dan sebelum mereka mengetahui harga.
Hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
لا
تلقوا الجلب , فمن تلقاه فاشترى منه فاذا أتى سيده السوق فهو بالخيار.
“janganlah kalian menjegat barang yang didatangkan dari luar.
Barang siapa yang mencegatnya dan membeli sebagian darinya, apabila pemiliknya
telah sampai ke pasar maka dia memiliki khiyar” (HR. Muslim)
[26]
Sabda Nabi:
نهى
رسول الله ص.م ان بيع حاضر لباد (HR. Al-Bukhari)
Rasulallah
melarang penduduk desa bertindak menipu sebagaimada seseorang yang memaksakan
agen untuk menjual dan membeli dari penduduk kampung yang sederhana.
Hadis ini menunjukan dua
model transaksi dengan ketrampilan menipu penduduk desa yang banyak saudagar
kaya di kota tersebut yang dapat ia jual dengan mudah. Akan tetapi, untuk
mendapatkan keuntungan besar mengambil komoditas untuk menjual di
kampung-kampung walaupun penduduknya kurang baik dalam kebutuhan barang-barang
yang diperdagangkan. Kedua, dia berikhtiar untuk menghentikan perdagangan
langsung antar penduduk kota dan penduduk kampung, dan menjadi agen memaksakan
diri atas nama penduduk kampung dan membeli komoditas atas nama harga yang
lebih tinggi karena harta yang ditekan.
[27]
Zainuddin Ibnu Abdul Aziz Al-Malybari, Irsadul Ibad, terj. Mahrus Ali
(Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 543.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar