Jumat, 26 Juli 2013

HUKUM PERJANJIAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM (QUR’AN DAN HADIS)


A.    Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui pelantara malaikat Jibril ke dalam hati rusulallah Muhammad bin Abdullah dengan lafadz yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulallah, menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi qurbah di mana mereka beribadah dengan membacanya. Hukum yang terkandung dalam al-Qur’an itu ada tiga macam, yaitu: hukum-hukum I’itiqadiyyah, hukum moralitas dan hukum amaliyah yang bersangkut paut dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf. [1]
Dari klasifikasi al-Qur’an yang terbagai menjadi tiga, penulis berfokuskan pada al-Qur’an yang menyangkut hukum-hukum amaliayah. Disamping itu, hukum amaliyah terbagi menjadi dua yakni hukum-hukum ibadah dan hukum-hukum muamalat. Dan disinilah penulis tekankan pada hukum-hukum muamalat khususnya tema aqad (perjanjian).
Bahasan ini akan menitikberatkan bagaimana Al-Qur’an dalam menanggapi  permsalahan-permasalahan perjanjian pada saat ini, sehingga perjanjian yang seperti apakah yang dicita-citakan al-Qur’an.

B.     Perjanjian Dalam Prepektik Hukum Islam
a.      Pengertian Perjanjian
Perjanjian atau perikatan secara etimologi perjanjian atau perikatan adalah ikatan. Sedangkan menurut terminology perjanjian atau perikatan adalah suatu perbuatan dimana seseorang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa lain.[2] Menurut Abdulkadir Muhammad perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangangan harta kekayaan.[3]
Sedangkan menurut hukum islam perjanjian berasal dari kata aqad عقد)) yang secara etimologi berarti “menyimpulkan”.[4]
جمع طرفي حبلين و يشذّ احدهما بالأخر حتى يتصلا فيصبحا كقطعة واحدة
Artinya: “mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sepotong benda”.[5]
Sedangkan menurut istilah sesuatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan kemudian karenanya timbul ketentuan/ kepastian pada dua sisinya.[6]
ارتبط الايجاب بقبول على وجه مشروع يثبت الترضى
Artinya: “perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhan kedua belah pihak”.[7]
Menurut Abdul Aziz Muhammad kata aqad dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat. Dari sinilah kemudian makna aqad diterjemahkan secara bahasa sebagai: “menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga di dalamnya janji dan sumpah, karena sumpah menguatkan niat berjanji untuk melaksanakanya isi sumpah atau meninggalkanya. Demikan juga dengan janji halnya dengan janji sebagai perekat hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkanya”.[8] 
Dengan demikian definisi baik dari kalangan ahli hukum perdata dan ahli hukum islam ada persamaan dimana titik temunya adalah kesepakatan untuk mengikatkan diri dengan seorang lainya.
Dalam setiap perikatan akan timbul hak dan kewajiban pada dua sisi. Maksudnya, pada satu pihak ada hak untuk menuntut sesuatu dan pihak lain menjadi kewajiban untuk memenuhinya. Sesuatu itu adalah prestasi yang merupakan hubungan hukum yang apabila tidak dipenuhi secara sukarela dapat dipaksakan, bahkan melalui hakim.
Karena merupakan suatu hubungan, maka suatu akad (perjanjian) dapat timbul karena perjanjian, yakni dua pihak saling mengemukakan janjinya mengenai perstasi. Misalnya jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain.
b.      Asas Perjanjian dalam Hukum Islam
1.      Asas Ibahah (mabda’ al-Ibahah)
Asas ibahah adalah asas umum hukum islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam andigum:
الاصل في المعاملة الاباحة حتى يدل على دليل لتحريم
Artinya: Pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.
Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum islam, untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas: “Bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil syari’ah”.
2.      Asas Kebebasan Beraqad (mabda’ huriyyah at-ta’aqud)
Hukum islam mengakui kebebasan beraqad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat aqad atau jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syari’ah dan memasukan klausula apa saja ke dalam aqad yang dibuatnya sesuai dengan kepentinganya sejauh tidak berakibat makan harta sesame dengan batil. Namun demikian, di lingkungan madzhab-madzhab yang berbeda terdapat perbedaan pendapat mengenai luas-sempitnya kebebasan tersebut. Nas-nas Al-Qur’an dan Sunah Nabi saw. serta kaidah-kaidah hukum islam menunjukan bahawa hukum islam menganut asas kenbebasan berkontrak (aqad). Asas kenbebasan beraqad ini merupakan konkritisasi lebih jauh dari sepesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibadah dalam mumalat.
3.      Asas Konsensualisme (mabda’ ar-radhaiyyah)
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hadis Nabi
أخبرنا الحسن بن سفيان أخبرنا سعيد بن عبد الجبار أخبرنا الدراوردي عن داود بن صالح بن دينار التمار عن أبيه عن أبي سعيد الخدري : أن يهوديا قدم زمن النبي صلى الله عليه و سلم بثلاثين حمل شعير وتمر فسعر مدا بمد النبي صلى الله عليه و سلم وليس في الناس يومئذ طعام غيره وكان قد أصاب الناس قبل ذلك جوع لا يجدون فيه طعاما فأتى النبي صلى الله عليه و سلم الناس يشكون إليه غلاء السعر فصعد المنبر فحمد الله وأثنى عليه ثم قال : ( لا ألقين الله من قبل أن أعطي أحدا من مال أحد من غير طيب نفس إنما البيع عن تراض ولكن في بيوعكم خصالا أذكرها لكم : لا تضاغنوا ولا تناجشوا ولا تحاسدوا ولا يسوم الرجل على سوم أخيه ولايبيعن حاضر لباد والبيع عن تراض وكونوا عباد الله إخوانا )
4.      Asas Janji Mengikat
5.      Asas Keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi al-mu’awadhah)
Secara factual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian islam tetap menekankan perlunya keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul risiko. Asas keseimbangan dalam transasksi (antara apa yang diberikan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkanya suatu aqad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara krditor bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negative.
6.      Asas Kemaslahatan (tidak memberatkan)
Asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa aqad yang akan dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian atau keadaan yang memberatkan. Apabila dalam pelaksanaan aqad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak yang bersangkutan sehingga memberatkanya, maka kewajibanya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal.
7.      Asas Amanah
Asas Amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beritiqad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak sekali objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang amat sepesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditansaksikan, pihak lain menjadi mitra tarnsaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya.
8.      Asas Keadilan
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum islam, keadilan langsung merupakan perintah al-qur’an (QS. 5:8). Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sering kali dizaman modern aqad ditutup oleh satu pihak dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausula aqad tersebut, karena klausula aqad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaanya akan timbul kerugian kepada pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam hukum islam kontemporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dapat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan untuk itu.[9]
c.       Konsekuensi Perjanjian Dalam Prespektif Hukum Islam
Perjanjian dalam prespektif hukum islam harus dipenuhi sesuai dengan Firman Allah:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu aqad-aqad (perjanjian) itu[10]. (Q.S. Al-Maidah:1)
Al-Biaqi mengemukakan hubungan yang lebih rinci. Menurut beliau pada akhir surat an-Nisa: 164, telah diuraikan bahwa orang-orang Yahudi yang melakukan kedzaliman dengan mengabaikan perjanjian mereka dengan Allah swt, telah dijatuhi sanksi; yakni berupa diharamkanya atas mereka (orang-orang Yahudi) yang baik-baik yang telah dihalalkan bagi merka, Al-anam: 45.
Dengan demikian sangat wajar dan amat sesuai bila dengan tuntunan kepada orang beriman untuk memenuhi akad (perjanjian). Menurut Zaid Bin Aslam berpendapat yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, bahwa aufu bil uqud ada enam. [11]
1.      Abdullah (perintah dan larangan Allah)
2.      Aqdul hilf (perjanjian persekutuan suku)
3.      Aqdul bai (perjanjian jual beli)
4.      Aqdun nikah (perjanjian perkawinan atau aqad perkawinan)
5.      Aqdul yamin (perjanjian sumpah).
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, akad (perjanjian) ada empat:[12]
1.      Perjanjian dengan Allah. SWT;
2.      Perjanjian dengan sesame manusia;
3.      Perjanjian dengan diri sendiri;
4.      Perjanjian yang halal.
Kalimat awal pada surat al-Maidah: 1 ( ياءيها الذين امنوا ) merupakan panggilan yang mesra. Dalam konteks ini dirwayatkan bahwa sahabat Nabi saw. Ibn Mas’ud berkata: “jika anda mengengar panggilan ilahi ya ayuha alladzina amanu, maka siapkanlah dengan baik pendengaranmu, karena sesungguhnya ada kebaikan yang Dia perintah atau keburukan yang Dia larang.[13]
Kata “al-uqud” adalah jamak dari kata “aqad” yang pada mulanya berarti mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga tidak menjadi baginya dan tidak terpisah dengannya.
Dalam ayat al-Maidah: 1 ada lafadz أوفو yang artinya “penuhilah” dimana dalam bahas Arab disebut fi’il amr (kata-kata perintah) yang implikasinya jika lafadz yang khusus dalam suatu nash yang di dalamnya mengandung arti perintah maka  menunjukan hukumnya adalah wajib; [14]
الاصل فى الامر للوجوب ولا تدلّ على غير الاّ بقرينة  
Perintah ayat ini menunjukan betapa al-Qur’an sangat menekankan perlunya memenuhi akad dalam segala bentuk dan maknanya dan pemenuhan sempurna, kalau perlu melebihkan dari yang seharusnya, serta mengecam orang-orang yang menyiayiakanya.
Hadis Nabi Muhammad saw:
و عن ابي رافع قال : قال النبي ص.م : اني لا اخيس بالعهد و لا احبس الرسل (راواه ابو داود و النسائ و صححه ابن حبان )
Artinya: Sesunggunhnya aku tidak menyalahi janji, dan tidak menahan utusan (H.R. Abu Dawud dan An-Nasai dan disahihkan oleh Ibnu Hibban).
Dan juga Hadis Nabi:
حدث ابن مسعود انه قال ايما بيعين تبايعا فالقول البائع او يترادان
Artinya: Hadis dari Ibnu Masud, siapa saja dua orang yang berjual beli. Maka yang menjadi pegangan adalah perkataan penjual atau saling mengembalikan.[15]
Hadis ini memberikan petunjuk bahwa Nabi Muhammad saw selalu tepat janji atau tidak mengingkari janji. Dengan demikian sebagai seorang muslim seharusnya mencontoh nabi dalam hal membuat perjanjian.
Selain itu perjanjian itu wajib ditepati jika tidak mempunyai cacat pada perjanjiannya.[16] Artinya perjanjian itu wajib ditepati jika sesuai dengan syari’at (bukan perjanjian yang menimbulkan mafsadat).
Sesuai dengan definisi perjanjian dimana yang berarti aqad yang secara harfiah berarti ikatan atau kewajiban yang dimaksudkan oleh kata lain adalah “mengadakan ikatan persetujuaan”. Pada saat dua kelompok mengadakan perjanjian, yakni ikatan untuk member dan menerima bersama-sama dalam satu waktu. Kewajiban yang timbul akibat perjanjian itu disebut al-Uqud.[17] Disamping itu, dalam syari’ah perjanjian yang dibuat hanya ketika satu kelompok memindahkan sesuatu pada kelompok ia berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan dan kelompok yang lain menerima perpindahan harta tersebut. Memberi dan menerima harus dibuat dalam keadaan bebas merdeka tanpa tekanan. Pertimbangan itu harus sah menurut hukum. Kelompok-kelompok ittu harus juga diakui atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka.
Konsekuwensi dari perjanjian itu adalah Penyerahan. Penyerahan adalah langkah pertama dalam pembuatan perjanjian. Penyerahan ini dibuat dalam berbagai cara diantaranya:
1.      Disampaikan secara verbal (bi al-kalam). Bentuk penyerahan ini dilakukan dalam pertemuan langsung.
2.      Disampaikan secara tertulis (bi al-Kitabah). Bentuk penyerahan ini menjadi efektif segera setelah surat yang dibuat itu menunjukan bahwa orang tersebut menyerahkan dan tetap akan menerima sampai diterima oleh penerima. Penyerahan ini harus dilakukan secara langsung.
3.      Dapat dilakukan dengan pesan yang dikirim dengan seseorang. Orang yang jujur dan terpercaya, dan penyerahan itu diterima dengan penerimaan yang baik. Para ulama Maliki, Syafi’i, Hanbali, berpendapat bahwa penyerahan itu harus dilakukan oleh pemilik harta dalam mengembalikan konsiderasi. Namun para ulama Hanafi mengatakan bahwa penyerahan itu berasal dari satu kelompok.
4.      Dibuat melalui tanda-tanda dan terutama lewat isyarat pada semua kasus di mana orang yang menyerahkan itu adalah tuli atau bisu atau ketika penerima tidak memahami bahasa orang yang menyerahkan Mazhab Maliki berpandangan sebagai sahih tanda-tanda yang diketahui yang dibuat seseorang yang normal sekalipun karena ide yang penting adalah bahwa orang yang menyerahkan itu harus mengkomnikasikan penyerahanya.
5.      Dibuat dengan perbuatan (fi’il). Penyerahan yang dibuat lewat perantara barang adalah sahih menurut Mazhab Maliki, namun penyerahan itu tidak dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
d.      Pembatalan Perjanjian
Waktu antara keputusan menyerahkan dan menerima ini disebut Majelis al-Aqad. Para ulama Hanafi dan Maliki menyatakan bahwa orang yang menyerahkan mempunyai pilihan untuk membatalkan penyerahannya sebelum barang yang diperdagangkan itu diterima. Begitu pula orang yang menerima mempunyai kesempatan untuk menata mentalnya apakah menerima atau menolak penyerahan itu, kiranya adil kalau orang yang menyerahkan itu mempunyai hak untuk membatalkan penyerahanya sebelum penerimaan diputuskan. Mungkin sekali bahwa penyerahan yang dilakukan oleh orang tersebut boleh jadi salah atau lupa memasukan sesuatu, karenanya orang tersebut boleh cepat-cepat membatalkan penyerahanya sementara kelompok yang lain sedang sibuk menata pikiranya apakah menerima atau menolak penyerahan itu.[18]
Pembatalan itu dibolehkan sesuai dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
من اقال مسلما اقاله الله عشرته
Artinya: “Barang siapa menerima permintaan seorang muslim untuk membatalkan aqad maka Allah akan mengampuni kesalahnya” (HR. Abu Dawud dan Ibu Majah)
Dalam fiqh pembatalan aqad disebut iqalah. Iqalah boleh dilakukan sebelum barang diterima. Di dalamnya tidak ada khiyar majelis, khiyar syarat, atau suf’ah (perioritas sekutu atau tetangga untuk membeli barang) karena itu bukan jual beli.
Apabila aqad telah dibatalkan maka masing-masing dari kedua orang beraqad mengambil kembali apa yang sebelumnya dimilikinya. Pembeli mengambil uang, penjual mengambil barang yang dijual. Apabila barang yang dijual telah rusak, atau orang yang melakukan aqad telah mati, atau harga telah naik atau turun maka iqalah (pembatalan aqad) tidak sah.[19]
e.       Contoh Perjanjian (aqad) dalam Hukum Islam
Contoh perjanjian atau perikatan yang sahih adalah:
1.      Al-Ba’i (jual beli)
2.      Hawalah (pemidahan hutang)
3.      Syirkah (perkongsian)
4.      Mudharabah (Kerjasama bagi hasil)
5.      Wakalah (perwakilan)
6.      Dhaman (Garansi)
7.      Ijarah (sewa-menyewa)
Disamping perjanjian atau perikatan yang sahih ada juga perjanjian atau perikatan yang diharamkan oleh Syar’i, diantaranya:
1.      Dua aqad dalam suatu perdagangan[20]
2.      Tambahan syarat diberikan untuk penjualan[21]
3.      Perdagangan al-Mulamisah dan Al-Munabihah[22]
4.      Penjualan yang bukan haknya[23]
5.      An-Najasy[24]
6.      Talaq Rukban[25]
7.      Bai’ Hadir libadi[26].
C.    Kesimpulan
Hukum perjanjian dalam prespektif islam sebetulnya tidak jauh berbeda dengan hukum pejanjian yang termuat dalam Kitab undang-undang hukum perdata (KUHAPerdata). Dalam hukum perjanjian islam lebih menekankan pada aspek teologis sehingga aturan-aturan dalam hukum perjanjian ini mengacu pada al-Qur’an dan Hadis. Hukum perjanjian ini seyognyanya bisa direalisasikan dengan menyesuaikan dengan perjanjian-perjanjian yang berlaku di Negara Indonesia.
Hadis Nabi:
اربع من كنّ فيه كان منافقا خالصا ومن كانت فيه خصلة منهنّ كانت فيه خصلة من النفاق حتى يدعها : اذا حدث كذب و اذا وعد اخلف و اذا عاهد غدر واذا خاصم فجر
Artinya: Perkara empat, barang siapa yang memiliki seluruhnya dalam keperibadianya maka dia adalah munafik sejati. Dan barang siapa mempunyai salah satu dari padanya maka dia mempunyai keperibadian munafik sehingga ditinggalkanya: Bila berbicara, bohong. Bila berjanji, menyalahinya. Bila mengadakan persetujuan terhadap suatu masalah, cidra. Bila berbantahan, berkata jelek”. (HR. Bukhari dan Muslim)[27]
Dengan demikian sebagai seorang muslim harus menepaji janji-janji baik yang berhubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia.
Makalah ini sekedar memberitahukan bagaimana hukum islam mengatur dalam urusan perjanjian. Sehingga menambah wawasan yang luas. 
 
DAFTAR PUSTAKA
al-Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib. Semarang: Toha Putra Group, 1994.

al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin as-Suyuhti. Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004.

al-Malybari, Zainuddin Ibnu Abdul Aziz. Irsadul Ibad, terj. Mahrus Ali. Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.

Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syari’ah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam. Jakarta: Amzah, 2010.

Bik, Hudhari. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami: Sejarah Pembinaan Hukum Islam, terj. Moh. Zuhri. Indonesia: Darul Ihya, t.th.

I.Doi, Abdur Rahman. Syari’ah The Islamic Law, terj. Zaimuddin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Katsir, Ibnu. Muhtasar Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy. Surabaya: t.tp, 2004. II.

Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1990.

Rusdy, Ibnu. Bidayatul Muztahid fi Nihayatut Muqtasid. Surabaya: Al-Hidayah, t.th.

Sabiq, Sayid. Fiqhu As-Sunah, terj. Mujahidin Muhayan. Jakarta: Pena Pundi Askara, 2008.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2004. III.

Suhendi, Hendi. Fiqh Mumalah:Membahas Ekonomi Islam Kedudukan Harta, Hak Milik, Jual Beli, Bunga Bank dan Riba, Musyarakah, Ijarah, Mudayanah, Koperasi, Asuransi, Etika Bisnis dan lain-lain, cet. V. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.

Syafei, Rachmat. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2008.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus, t.th.


[1] Abdul Wahab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib (Semarang: Toha Putra Group, 1994), hlm. 18. Lihat juga Hudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami: Sejarah Pembinaan Hukum Islam, terj. Moh. Zuhri (Indonesia: Darul Ihya, t.th), hlm. 5.
[2] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 221. Dan juga dalam pasal 1313 KUHPerdata.
[3] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan  (Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1990), hlm. 78.
[4] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus, t.th), hlm. 274.
[5] Hendi Suhendi, Fiqh Mumalah: Membahas Ekonomi Islam Kedudukan Harta, Hak Milik, Jual Beli, Bunga Bank dan Riba, Musyarakah, Ijarah, Mudayanah, Koperasi, Asuransi, Etika Bisnis dan lain-lain, cet. V (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.44.
[6] Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 1.
[7] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah…hlm. 46.
[8] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 15.
[9] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 92.
[10] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuhti, Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar, Cet. 10 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), I. 445.
[11] Ibnu Katsir, Muhtasar Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, (Surabaya: t.tp, 2004), II. 3.
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, Cet. II (Jakarta: Lentera Hati, 2004), III. 6.
[13] Ibid…III. 7.
[14] Abdul Wahab al-Khallaf,,, hlm. 305.
[15] Ibnu Rusdy, Bidayatul Muztahid (Surabaya: Al-Hidayah, t.th), II.128.
[16] Hukum positif yang berlaku di Indonesia yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Perdata dalam pasal 1320 yang berbunyi:
“untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka mengikatkan diri, 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3. Suatu hal tertentu, 4. Suatu sebab yang halal.”
[17] Abdur Rahman I.Doi, Syari’ah The Islamic Law, terj. Zaimuddin dan Rusydi Sulaiman (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 16. Bandingkan Rachamat Syafei, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 46-49.
[18] Ibid..hlm. 19.
[19] Sayid Sabiq, Fiqhu As-Sunah, terj. Mujahidin Muhayan (Jakarta: Pena Pundi Askara, 2008), IV. 65.
[20] Dua aqada dalam satu perdagangan diharamkan, sesuai dengan hadis nabi:
نهى النبى صلى الله عليه و سلم عن بيعتين في بيعه (HR. An-Nasai dan Tirmidzi)
Hadis ini yang menyatakan bahwa pengharaman dua aqad dalam satu transaksi jual beli. Lihat Yoga Prasetya dan Sobri, “Tinjauan MLM dalam Prespektif Hukum Islam”. Makalah tidak diterbitkan Purwokerto: STAIN Jurusan Syari’ah Muamalah.
[21] Sada Nabi:
نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن بيع و شرط(HR. Tibrani)
             Rasulullah saw. Melarang membubuhkan syarat tambahan dengan aqad penjualan”. Aqad jual beli tidak boleh dicampur aduk dengan syarat persetujuan.
[22] Sabda Nabi:
نهى رسول الله ص.م عن ملامسة و المنابذة (HR. Al-Bukhari)
Rasulallah melarang aku untuk menjual sesuatu yang bukan milikiku atau menjual sesuatu yang tidak jelas dan tidak tampak secara nyata.
[23] Sabda Nabi:
نهى رسول الله ص.م أن بيع ما ليس عندى   (HR. At-Tirmidzi)
Rasulallah melarang aku menjual sesuatu yang bukan miliku
[24] Sabda Nabi:
نهى رسول الله ص.م عن النجش(HR. Al-Bukhari)
Rasulallah melarang jual beli dengan barang yang najis.
[25] Sabda Nabi:
نهى رسول الله ص.م عن تلق الركبان (HR. Al-Bukhari)
Rasulallah melarang pergi ke kampong dan menemukan kafilah dagang dengan maksud menipu perfagangan kampng itu dengan harga yang terlalu murah.
Diantara bentuk penipian adalah mencegat barang yang didatangkan dari luar. Hal ini terjadi ketika kafilah dagang membawa barang-barang daganganya, lalu seorang laki-laki mencegat mereka sebelum memasuki kota dan sebelum mereka mengetahui harga. Hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
لا تلقوا الجلب , فمن تلقاه فاشترى منه فاذا أتى سيده السوق فهو بالخيار.
“janganlah kalian menjegat barang yang didatangkan dari luar. Barang siapa yang mencegatnya dan membeli sebagian darinya, apabila pemiliknya telah sampai ke pasar maka dia memiliki khiyar” (HR. Muslim)
[26] Sabda Nabi:
نهى رسول الله ص.م ان بيع حاضر لباد (HR. Al-Bukhari)
Rasulallah melarang penduduk desa bertindak menipu sebagaimada seseorang yang memaksakan agen untuk menjual dan membeli dari penduduk kampung yang sederhana.
Hadis ini menunjukan dua model transaksi dengan ketrampilan menipu penduduk desa yang banyak saudagar kaya di kota tersebut yang dapat ia jual dengan mudah. Akan tetapi, untuk mendapatkan keuntungan besar mengambil komoditas untuk menjual di kampung-kampung walaupun penduduknya kurang baik dalam kebutuhan barang-barang yang diperdagangkan. Kedua, dia berikhtiar untuk menghentikan perdagangan langsung antar penduduk kota dan penduduk kampung, dan menjadi agen memaksakan diri atas nama penduduk kampung dan membeli komoditas atas nama harga yang lebih tinggi karena harta yang ditekan.
[27] Zainuddin Ibnu Abdul Aziz Al-Malybari, Irsadul Ibad, terj. Mahrus Ali (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 543.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar