Jumat, 26 Juli 2013

METODE TAFSIR KONTEMPORER Penefsiran Al-Qur’an dalam Konsep Riba


A.    Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah swt untuk ummat manusia. Al-Qur’an juga sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai kehidupan ummar manusia. Ia juga berfungsi member petunjuk dalam pesoalan-persoalan akidah, syari’ah, dan akhlak dengan jalan meletakan prinsip-prinsip dasar tersebut. Allah menugaskan kepada nabinya untuk memberikan keterangan-keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu. Disamping keterangan yang disampaikan oleh Rasulallah SAW, Allah memerintahkan pula kepada ummat manusia seluruhnya agar memperhatikan al-Qur’an.
Redaksi ayat-ayat al-Qur’an, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an banyak yang berbeda pendapat. Maka dari itu sangat diperlukan metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an. Disinilah pentingya Hadis sebagai penjelas al-Qur’an.
Dalam makalah ini penulis menitikberatkan penafsiran al-Qur’an dan Hadis dalam permasalahan riba karena problem riba dewasa saat ini perlu dipertegas bagaimana riba dalam qur’an itu. Dengan bahasan tafsir ayat-ayat riba maka bisa lebih jelas setatus hukumnya.

B.     Penafsiran Al-Qur’an dan Hadis
Penafsiran teks keagamaan selalu mempertautkan antara dimensi normativitas wahyu dan historitas pemahaman wahyu. Yang pertama adalah wilayah kembali kepada al-Qur’an dan Hadis, sedangkan yang kedua adalah wilayah ijtihad dan tajdid. Normativitas wahyu akan tetap seperti apa adanya, seperti yang termaktub dalam sumber ajaran (teks keagamaan) yaitu al-Qur’an dan Hadis. Tetapi historitas pemaknaan dan pemahamanya berubah-rubah, kaya alternative sesuai dengan tantangan zaman yang terus berubah.[1]
C.    Pembaharuan Tafsir
1.      Hadis dan Pendapat Sahabat
Seorang mufasir tidak dapat mengabaikan hadis-hadis Rasulallah dan pendapat sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an. Hanya saja ini bukan berarti bahwa penafsiran mereka tidak dapat dikembangkan maknanya. Penafsiran Nabi saw dan sahabat dapat dibagi dalam dua katagori, yaitu La Manjala li ‘aql fih (Masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar), seperti masalah metafisika dan perincian ibadah, Fi Majal al-‘aql (Permasalahan dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah kemasyarakatan dan bermuamalah.[2]
Pertama, apabila nilai riwayatnya sahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada diluar jangkauan akal. Adapun yang kedua, walaupun harus diketahui bahwa penafsiran nabi adalah benar adanya, namun penafsiran itu harus didudukan pada proporsinya yang tepat. Ini karena sifat penafsiran yang sangat bervariasi, baik dari segi motif penafsiran, baik berbentuk ta’rif, atau irshad atau tashih dan sebagainya maupun hubungan antara ayat yang ditafsirkan dengan penafsiranya juga beragam, seperti hubungan padanan (tatabuq), hubungan kelaziman (talazum), hubungan cakupan (tadsamun), dan hubungan percontohan (tamathil).
Di samping kergagaman penafsiran seperti yang dikemukakan di atas, hadis-hadis nabi pun dapat ditinjau dari berbagai segi, sejalan kedudukan nabi ketika mengucapkan atau memperagakan. Imam Qarafi dianggap sebagai orang pertama yang memilah-milah ucapan dan sikap nabi. Menurutnya, Nabi terkadang berperan sebagai imam, qadi (penetap hukum), atau mufti yang amat dalam pengetahuannya. Pendapat di atas bagi penganut paham kontekstual dijabarkan dan dikembangkan lebih jauh, sehingga setiap hadis harus dicari konteksnya, apakah ia ucapkan atau perankan oleh nabi dalam kedudukan sebagai:
a.       Rasul dank arena itu pasti benar, sebab bersumber dari Allah SWT.
b.      Mufti yang member fatwa berdasarkan pemahaman dan wewenang yang diberikan Allah, dan inipun pasti benar serta berlaku umum bagi setiap muslim.
c.       Hakim yang memutuskan perkara. Dalam hal ini putusan tersebut walaupun secara formal pasti benar, namun secara matriil adakalanya keliru. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan salah satu pihak yang bersengketa dalam menutup-nutupi kebenaran, sementara disisi lain keputusan ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa.[3]
2.      Penggunaan Takwil dan Metafora
Pada masa as-salaf al-awwal, para ulama enggan menggunakan takwil atau member arti metaforis bagi teks-teks keagamaan. Imam Malik misalnya enggan membenarkan seorang berkata “langit menurunkan hujan”. Harus diyakini bahwa sesungguhnya yang menurunkan hujan adalah Allah SWT. Keengganan menggunakan takwil ini menjadikan ulama salaf menduga bahwa batu adalah makhluk hidup yang berakal, berdasarkan firman Allah dalam Q.S. 2: 74. Juga ada yang menduga bahwa Allah mengutus nabi-nabi kepada lebah berdasarkan Q.S. 16:68. Setelah ulama al-Sallaf al-Awwal, keadaan telah berubah. Hampir seluruh ulama telah mengakui perlunya takwil dalam berbagai bentuknya. Suyuti, misalnya menilai majaz sebagai salah satu bentuk keindahan bahasa. Namun, walaupun mereka telah sepakat menerimanya, perbedaan pendapat timbul dalam menetapkan syarat-syarat bagi penggunaanya.[4]
As-Shatibi mengemukakan dua syarat poko bagi penakwilan ayat-ayat al-Qur’an. Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya. Kedua, arti yang dipilih itu telah dikenal oleh bahasa Arab Klasik.
3.      Konteks dan Latar Belakang Turunya Al-Qur’an
Bagian dari tugas untuk memahami pesan al-Qur’an sebagai suatu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang. Latar belakang langsungnya adalah aktivitas Nabi dan perjuanganya selama kurang lebih 23 tahun di bawah bimbingan al-Qur’an. Karena perjuangan nabi sendirilah yang sesungguhyan berhak memperoleh sebutan sunnah, maka adalah penting untuk memahami sebaik mungkin milieu Arab pada masa awal penyebaran islam, sebab aktivitas nabi mensyaratkan adanya milieu itu. Dengan demikian, adat istiadat, pranata-pranata, dan pandangan hidup orang Arab pada umumnya menjadi sangat penting untuk memahami aktivitas Nabi. Situasi di Mekkah khususnya sebelum islam datang juga membutuhkan suatu pemahaman yang mendalam. Suatu usaha harus dilakukan tidak hanya untuk memahami agama Arab pra Islam, tetapi juga pranata-pranata social, kehidupan ekonomis, hubungan-hubungan politik mereka serta pengaruh kekuasaan religio-ekonomis suku quraisy di kalangan orang-orang Arab. Al-Qur’an harus difahami dalam konteksnya yang tepat dan latara belakang perjuangan Nabi.[5]

D.    Ayat Tentang Riba
Permasalahan riba merupakan salah satu perkara muamalah (hubungan antar manusia) yang diatur secara jelas di dalam al-Qur’an. Pembahasan riba di dalam al-Qur’an tidak hanya terdapat disuatu tempat dan waktu turun saja, namun ia hadir dibeberapa tempat serta terhadap turunya. Kondisi tersebut sama seperti ketika Allah swt. mengharamkan minuman keras yang memabukan (khamr) di dalam al-Qur’an.[6]
Setatus hukum riba dalam islam (al-Qur’an) juga terdapat pada beberapa surat dan ayat yang terpisah yang turun secara bertahap. Selain itu, ayat-ayat yang turun tersebut disertai juga dengan sebab atau alasan turunnya suatu ayat, atau disebut sabab al-nuzul (persoalan yang melatarbelakangi turunya ayat al-Qur’an).[7]
Ayat al-Qur’an yang pertama kali turun (tahap pertama) yang membicarakan masalah riba adalah surat ar-Rumm [30] ayat

Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan [umpamanya sesuatu yang diberikan atau dihadiahkan kepada orang lain supaya orang lain member kepadanya balasan yang lebih banyak dari apa yang telah diberikan; pengertian sesuatu dalam ayat ini dinamakan tambahan dalam masalah muamalah][8] agar dia menambah pada harta manusia [yakni orang-orang yang member itu, lafadz Yarbu artinya bertambah banyak], Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”

Ayat diatas memberikan pemahaman bahawa riba yang dikirakan memberikan tambahan pada harta manusia. Ternyata di hadapan Allah swt. tidaklah demikian – justru orang yang mengeluarkan zakat secara ikhlas demi mengharapkan ridha Allah lah yang akan menerima pahala yang berlipat ganda. Nampak bahwa ayat tersebut tidak melarang riba secara tegas, namun Allah memberikan alternative pembelanjaan keuangan yang akan memberikan return lebih baik dan lebih banyak. Istilah riba di dalam ayat tersebut juga dipahami berbeda oleh para ulama, ada yang memahaminya sebagai riba yang dilarang syariat. Adapula yang berpendapat berupa pemberian hadiah yang mengharapkan balasan yang lebih besar. Dan juga Dalam ayat ini hanya menggambarakan adanya unsure negative dari riba.
Dalam qur’an surat ar-Rumm: 39 kata riba ditulis dengan huruf tanpa wawu [الربا], sedangkan dalam ayat-ayat lain menggunakan wawu [الربو]. Pakar ilmu al-Qur’an az-Zarkasyi berpendapat bahwa perbedaan penulisan itu sebagai indicator tentang perbedaan maknanya, artinya menurut az-Zarkasyi ayat ini memberikan pengertian bahwa riba ini adalah halal [hadiah], sedangkan yang lainya adalah riba haram.[9]
Tahap kedua dari penetapan status hukum riba adalah dengan turunya ayat 160-161 surat an-Nisa

Artinya: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Ayat ini menjelaskan bahaw riba merupakan sebuah amalan yang sejak dahulu dilakukan oleh orang-orang Yahudi, padahal Allah telah melarangnya dalam kitab Taurat akan tetapi mereka berbuat kezaliman[10].
Tahap ketiga adalah pelarangan umat islam memungut riba yang berlipat ganda, sebagaimana terdapat dalam qur’an surat Ali Imron [3]: 130.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[11] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Asbabul Nuzul ayat di atas adalah kebiasaan kaum. menurut Faryabi dari Mujahid, katanya: “Mereka biasa berjual beli hingga waktu tertentu. Jika waktu itu telah sampai, mereka tambah harganya dan perpanjang waktunya. Maka turunlah ayat di atas. Dan juga diketengahkan pula dari Atha’ katanya: suku Tsaqif biasa berutang kepada bani Nadzir di masa jahiliyah, maka jika telah jatuh temponya, mereka katakana: kami beri tahu tambahan, asal saja kamu perpanjang waktu pembayaranya. Maka turunlah ayat ini.[12]

Asbabul nuzul ayat ini adalah tingkah seorang penjual yang biasa transaksi jual beli dangan tidak tunai. Dimana jika pembeli tidak bisa membayar maka akan ditambah waktunya dan harganya. Sehingga lama kelamaan harga itu bisa berlipat ganda. Dengan demikian Allah mengharamkan karena merugikan pihak-pihak tertentu. Namun demikian, Ayat ini merupakan ayat yang paling krusial dalam memahami masalah riba, yaitu terkait dengan pernyataan, “riba yang berlipat ganda”. Di dalam ayat tersebut secara tegas dilarang pemungutan riba secara berlipat ganda. Permasalahan yang muncul kemudian adalah, apakah riba itu selalu berlipat ganda? Apakah tambahan (dari pokok pinjaman) yang tidak berlipat ganda disebut juga riba? Apakah karena itu setiap tambahan dilarang dalam islam. Pertanyan-pertanyaan itulah sejak masa lalu hingga kini diperselisihkan dikalangan para ulama dan pemikir muslim dunia.
     Tahap keempat (terakhir) pembahasan riba di dalam al-Qur’an terdapat disurat al-Baqarah [2]: 275-276
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba [Mengambilnya, dan riba ialah tambahan dalam muamalat dengan uang dan bahan makanan, baik mengenai banyaknya maupun mengenai waktunya] tidak dapat berdiri [dari kubur-kubur mereka] melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”[13]
Ayat selanjutnya berbunyi;
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
     Ayat 278-279 surat al-Baqarah di atas merupakan kelompok yang terakhir berbicara tentang riba yang dilakukan antara penduduk mekkah dengan penduduk Tha’if.[14] Beberapa kandungan pokok kelompok ayat-ayat di surat al-Baqarah tersebut antara lain:
1.      Orang yang memakan riba sama seperti orang yang kesetanan sehingga ia tidak dapat membedakan hal yang baik dan buruk. Karena itu mereka menyamakan antara jual beli dan riba, padahal Allah menegaskan bahwa riba itu haram, sedangkan jual beli halal.
2.      Allah berkehendak memusnahkan riba karena berbagai dampak buruk yang ditimbulkannya, kemudian akan diganti dengan sedekah yang bermanfaat dan memperdayakan umat.
3.      Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bertaqwa kepada-Nya dan meninggalkan sisa-sisa riba yang belum dipungut. Dalam hal ini, orang-orang pernah meminjamkan uang kepada orang lain, hanya berhak mengambil pokok bagian hartanya (yang dipinjamkan). Apabila mereka melaksanakannya, maka tidak aka nada yang dianiaya maupun menganiaya. Apabila perintah tersebut tidak dilaksanakan, maka Allah memeranginya.
4.      Al-Qur’an mengajarkan agar orang yang meminjamkan uangnya kepada orang lain mau memberikan tenggang waktu pelunasan ketika si peminjam mengalami kesulitan dalam mengembalikan pinjaman benar-benar tidak mampu mengembalikan, maka menyedekahkan sebagian atau seluruh pinjaman merupakan sebuah kebaikan di sisi Allah swt. Pengembalian pinjaman hanya sebesar pokok pinjaman yang diberikan sehingga terhindar dari tindakan menganiaya.
Pada bagian akhir ayat 280 terdapat dua pernyataan yang sangat penting, yaitu (1) maka bagimu pokok hartamu, (2) kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. Pernyataan pertama menegaskan bahwa orang yang meminjamkan uang kepada orang lain dianjurkan untuk hanya meminta kembali pokok pinjaman yang diberikan, tanpa meminta tambahan apapun.[15]
Sebab turunya surat al-Baqarah: 278 yang diketgengahkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu Mandah, dari jalur al-Kalibiy dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas, katanya: “kami dapat berita bahwa ayat ini turun pada Bani Amr bin Auf dari suku Tsaqif. Tatkala Mekkah dikuasakan Allah kepada RasulNya, maka ketika itu seluruh riba dihapuskan. Maka datanglah Bani Mughirah: ‘tidakkah kami jadikan secelaka-celaka manusia mengenai riba, karena terhadap semua manusia dihapuskan, tetapi pada kami tidak?’ Jawab Bani Amr: ‘dalam perjanjian damai diantara kami disebutkan bahwa kami tetap memperoleh riba kami.” Atab pun mengirimkan surat kepada Nabi saw mengenai hal itu, maka turunlah ayat ini dan ayat berikutnya.
Diketengahkan oleh Ibnu Jarir, dari Ikrimah, katanya: ayat ini turun mengenai suku Tsaqif, diantara mereka Masud, Habib, Tabiah dan Abu Yalail, serta Bani Amr dan Bani Umair.
Pada tahap akhir pengaharaman riba yang secara keseluruhan dengan adanya kalimat “tinggalkanlah sisa-sisa riba”. Yang artinya riba baik kecil maupun yang berlipat ganda sama-sama diharamkan oleh Allah.
E.     Hadis Tentang Riba
Telah mafhum disepakati umat islam bahawa dasar hukum islam yang utama adalah al-Qur’an yang kemudian diikuti oleh sunnah Rasulallah Muhammad saw. Sunnah rasul yang dimaksud dapat dilacak dan ditemui di dalam hadis-hadis yang telah dikumpulkan, diseleksi dan disusun oleh para ulama hadis termasyhur. Penggunaan sunnah rasul sebagai dasar hukum kedua dalam Islam namapak dalam kisah ketika Rasulallah saw. Mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, Rasul bersabda: “Bagaimana kamu memutuskan suatu hukum ketika kamu diminta untuk menentukan suatu keputusan?” Jawab Muadz “aku memutuskan dengan kitab Allah”. Rasulallah bertanya. “jika kamu tidak menemukan di dalam kitab Allah” Muadz menjawab “Dengan sunnah Rasulallah”.
Hadis yang berkaitan riba akan disajikan sehingga bisa memperjelas dari ayat-ayat al-Qur’an yang terdahulu. Diantara hadis-hadinya adalah:
1)      Hadis Nabi:
لعن رسول الله ص.م اكل الرّبا و موكله و كاتبه و شاهيه : و هم سواء
Artinya: Rasulallah saw telah melaknat pemakan riba, orang yang mewakilkan, penulis, dua saksinya. Dan beliau bersabda: kedudukan mereka sama. (HR. Muslim)
2)      Hadis Nabi:
اجتنبوا السبع الموبقات . قالوا يارسول الله و ما هن ؟ قال : الشرك بالله و السحرو و قتل النفس التى حرم الله الا بالحق و اكل الربا و اكل مال اليتيم و التولى  يوم الزحف و قدف المحصنات الغافلات المومنات
Artinya:
Hindarilah perkara tujuh yang membinasakan: Syirik pada Allah, sihir, membunuh orang yang diharamkan oleh Allah kecuali ada alasan menurut ajaran agama, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling mundur diwaktu perang dan menuduh berzina kepada wanita yang mempunyai suami mu’min.
3)      Abdullah bin Handholah berkata; Rasulallah saw bersabada:
درهم ربا ياكله الرجل و هو يعلم اشد عند الله من ستة و ثلاثين زنية
Artinya:
Satu dirham yang diperoleh dari riba, lantas digunakan membeli makanan bagi seorang lelaki sedang ia mengetahuinya adalah lebih buruk bagi Allah dari tiga puluh enam kali perzinaan. (HR. Ahmad dan Thabrani)
4)      Ada seorang sahabat lelaki berkata; Rasulallah saw pernah memberikan khutbahnya kepada kami, lantas menyinggung masalah riba dan menganggapnya masalah besar, lalu bersabda.[16]
ان الدرهم يصيبه الرجل من الربا اعظم عند الله فى الخطيئة من ستة و ثلاثين زنية يزنيها الرجل
Artinya:
Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seorang lelaki dari riba adalah lebih besar kesalahanya di sisi Allah dari pada tiga puluh enam kali perzinaan yang dilakukanya. (HR. Ibnu Abiddunya dan Al-Baihaqi)
5)      Rasulallah bersabda:
الربا ثلاثة و سبعون بابا ايسرها مثل اينكح الرجل امّهُ
Artinya:
Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan dosanya seperti seorang lelaki bersetubuh dengan ibunya. (HR. Al-Hakim)

F.     KESIMPULAN
Tafsir adalah penjelasan tentang arti dan maksud firman-firman Allah SWT yang tercantum dalam al-Qur’an sesuai dengan kamampuan manusia yang telah memiliki seperangkat syarat-syarat tertentu.
Al-Qur’an yang bersifat sahih li-kulli zaman wa makan (sesuai dengan segala waktu dan tempat) selalu mengundang problem interpretasi: ada yang memahami dan menafsirkan secara literal ada pula yang memahami secara kontekstual, memahami sesuai dengan pesan dan spirit al-Qur’an. Alternative penafsiran modern al-Qur’an harus dilakukan dengan pendekatan multi disipliner (menggunakan analisis semantic, historis, dan perkembangan sosio-kultur). Konsep riba dalam al-Qur’an dan Hadis sejara qathi haram entah riba kecil maupun riba berlipat ganda.

DAFTAR PUSTAKA
al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin as-Suyuhti. Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar, Cet. 10. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004, Jilid: I dan III.

al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Maraghi, terj. Anshori Umar, Hary NK dan Abu Bakar .Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992.

al-Malybari, Zainuddin Ibnu Abdul Aziz. Irsadul Ibad, terj. Mahrus Ali. Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.

Shihab, M. Quraish. ‘Kata Pengantar’ pada Shaikh Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis. Bandung: Mizan, 1994.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2004

________________. “Tafsir dan Modernisasi” dalam Ulumul Qur’an, Vol. II dan No. 8, 1991.

Syufa’at. “Metode Tafsir Kontemporer” dalam Al-Manahij, Vol. I dan No. 1, Jurusan Syari’ah STAIN Purwokerto, 2007.

W, Muhammad Ghafur. Memahami Bunga dan Riba Ala Muslim Inonesia. Yogyakarta: Biruni Press, 2008.

Zuri, Muh. Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan: sebuah Titikan Antisipatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997.





[1] Syufa’at, “Metode Tafsir Kontemporer” dalam Al-Manahij, Vol. I dan No. 1, Jurusan Syari’ah STAIN Purwokerto, 2007. hlm. 28-29.
[2] M. Quraish Shihab, “Tafsir dan Modernisasi” dalam Ulumul Qur’an, Vol. II dan No. 8, 1991, hlm. 36.
[3] Syufa’at, “Metode Tafsir Kontemporer”…hlm. 30.
[4] M. Quraish Shihab, ‘Kata Pengantar’ pada Shaikh Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis (Bandung: Mizan, 1994), hlm.37.
[5] Fazlur Rahman dalam Syufaat, “Metode Tafsir Kontemporer”…hlm. 33.
[6] Muhammad Ghafur W, Memahami Bunga dan Riba Ala Muslim Inonesia (Yogyakarta: Biruni Press, 2008), hlm. 15.
[7] Muh. Zuri, Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan: sebuah Titikan Antisipatif (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hlm.57.
[8] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuhti, Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar, Cet. 10 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), III. 1728.
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, Cet. II (Jakarta: Lentera Hati, 2004), II. 73.
[10] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuhti, Tafsir Jalalain...I. 406.
[11] Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya Haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
[12] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuhti, Tafsir Jalalain...I. 312-313.
[13] Ibid..hlm. 158. Bandingkan  Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir Maraghi, terj. Anshori Umar, Hary NK dan Abu Bakar (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992), III. 72.
[14] Muh. Zuri, Riba…hlm.66-69.
[15] Muhammad Ghafur W, Memahami Bunga…hlm.19-20.
[16] Zainuddin Ibnu Abdul Aziz Al-Malybari, Irsadul Ibad, terj. Mahrus Ali (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 566.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar