A.
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah
kitab yang diturunkan oleh Allah swt untuk ummat manusia. Al-Qur’an juga
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai kehidupan
ummar manusia. Ia juga berfungsi member petunjuk dalam pesoalan-persoalan
akidah, syari’ah, dan akhlak dengan jalan meletakan prinsip-prinsip dasar
tersebut. Allah menugaskan kepada nabinya untuk memberikan
keterangan-keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu. Disamping
keterangan yang disampaikan oleh Rasulallah SAW, Allah memerintahkan pula
kepada ummat manusia seluruhnya agar memperhatikan al-Qur’an.
Redaksi ayat-ayat
al-Qur’an, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik
redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an banyak yang berbeda pendapat. Maka dari itu
sangat diperlukan metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an. Disinilah pentingya
Hadis sebagai penjelas al-Qur’an.
Dalam makalah ini
penulis menitikberatkan penafsiran al-Qur’an dan Hadis dalam permasalahan riba
karena problem riba dewasa saat ini perlu dipertegas bagaimana riba dalam
qur’an itu. Dengan bahasan tafsir ayat-ayat riba maka bisa lebih jelas setatus
hukumnya.
B.
Penafsiran Al-Qur’an
dan Hadis
Penafsiran teks
keagamaan selalu mempertautkan antara dimensi normativitas wahyu dan historitas
pemahaman wahyu. Yang pertama adalah wilayah kembali kepada al-Qur’an dan
Hadis, sedangkan yang kedua adalah wilayah ijtihad dan tajdid. Normativitas wahyu
akan tetap seperti apa adanya, seperti yang termaktub dalam sumber ajaran (teks
keagamaan) yaitu al-Qur’an dan Hadis. Tetapi historitas pemaknaan dan
pemahamanya berubah-rubah, kaya alternative sesuai dengan tantangan zaman yang
terus berubah.[1]
C.
Pembaharuan Tafsir
1.
Hadis dan Pendapat Sahabat
Seorang mufasir tidak dapat mengabaikan hadis-hadis
Rasulallah dan pendapat sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an. Hanya saja ini
bukan berarti bahwa penafsiran mereka tidak dapat dikembangkan maknanya.
Penafsiran Nabi saw dan sahabat dapat dibagi dalam dua katagori, yaitu La
Manjala li ‘aql fih (Masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar),
seperti masalah metafisika dan perincian ibadah, Fi Majal al-‘aql (Permasalahan
dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah kemasyarakatan dan bermuamalah.[2]
Pertama, apabila nilai riwayatnya sahih, diterima sebagaimana
adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada diluar jangkauan akal.
Adapun yang kedua, walaupun harus diketahui bahwa penafsiran nabi adalah benar
adanya, namun penafsiran itu harus didudukan pada proporsinya yang tepat. Ini
karena sifat penafsiran yang sangat bervariasi, baik dari segi motif
penafsiran, baik berbentuk ta’rif, atau irshad atau tashih
dan sebagainya maupun hubungan antara ayat yang ditafsirkan dengan penafsiranya
juga beragam, seperti hubungan padanan (tatabuq), hubungan kelaziman (talazum),
hubungan cakupan (tadsamun), dan hubungan percontohan (tamathil).
Di samping kergagaman penafsiran seperti yang dikemukakan di
atas, hadis-hadis nabi pun dapat ditinjau dari berbagai segi, sejalan kedudukan
nabi ketika mengucapkan atau memperagakan. Imam Qarafi dianggap sebagai orang
pertama yang memilah-milah ucapan dan sikap nabi. Menurutnya, Nabi terkadang
berperan sebagai imam, qadi (penetap hukum), atau mufti yang amat
dalam pengetahuannya. Pendapat di atas bagi penganut paham kontekstual
dijabarkan dan dikembangkan lebih jauh, sehingga setiap hadis harus dicari
konteksnya, apakah ia ucapkan atau perankan oleh nabi dalam kedudukan sebagai:
a.
Rasul dank arena itu pasti
benar, sebab bersumber dari Allah SWT.
b.
Mufti yang member fatwa
berdasarkan pemahaman dan wewenang yang diberikan Allah, dan inipun pasti benar
serta berlaku umum bagi setiap muslim.
c.
Hakim yang memutuskan
perkara. Dalam hal ini putusan tersebut walaupun secara formal pasti benar,
namun secara matriil adakalanya keliru. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan
salah satu pihak yang bersengketa dalam menutup-nutupi kebenaran, sementara
disisi lain keputusan ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa.[3]
2.
Penggunaan Takwil dan
Metafora
Pada masa as-salaf
al-awwal, para ulama enggan menggunakan takwil atau member arti metaforis
bagi teks-teks keagamaan. Imam Malik misalnya enggan membenarkan seorang
berkata “langit menurunkan hujan”. Harus diyakini bahwa sesungguhnya yang
menurunkan hujan adalah Allah SWT. Keengganan menggunakan takwil ini menjadikan
ulama salaf menduga bahwa batu adalah makhluk hidup yang berakal, berdasarkan
firman Allah dalam Q.S. 2: 74. Juga ada yang menduga bahwa Allah mengutus
nabi-nabi kepada lebah berdasarkan Q.S. 16:68. Setelah ulama al-Sallaf
al-Awwal, keadaan telah berubah. Hampir seluruh ulama telah mengakui
perlunya takwil dalam berbagai bentuknya. Suyuti, misalnya menilai majaz sebagai
salah satu bentuk keindahan bahasa. Namun, walaupun mereka telah sepakat
menerimanya, perbedaan pendapat timbul dalam menetapkan syarat-syarat bagi
penggunaanya.[4]
As-Shatibi
mengemukakan dua syarat poko bagi penakwilan ayat-ayat al-Qur’an. Pertama, makna
yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang
memiliki otoritas dalam bidangnya. Kedua, arti yang dipilih itu telah
dikenal oleh bahasa Arab Klasik.
3.
Konteks dan Latar Belakang
Turunya Al-Qur’an
Bagian dari tugas untuk memahami
pesan al-Qur’an sebagai suatu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah
latar belakang. Latar belakang langsungnya adalah aktivitas Nabi dan
perjuanganya selama kurang lebih 23 tahun di bawah bimbingan al-Qur’an. Karena
perjuangan nabi sendirilah yang sesungguhyan berhak memperoleh sebutan sunnah,
maka adalah penting untuk memahami sebaik mungkin milieu Arab pada masa
awal penyebaran islam, sebab aktivitas nabi mensyaratkan adanya milieu itu.
Dengan demikian, adat istiadat, pranata-pranata, dan pandangan hidup orang Arab
pada umumnya menjadi sangat penting untuk memahami aktivitas Nabi. Situasi di
Mekkah khususnya sebelum islam datang juga membutuhkan suatu pemahaman yang
mendalam. Suatu usaha harus dilakukan tidak hanya untuk memahami agama Arab pra
Islam, tetapi juga pranata-pranata social, kehidupan ekonomis,
hubungan-hubungan politik mereka serta pengaruh kekuasaan religio-ekonomis suku
quraisy di kalangan orang-orang Arab. Al-Qur’an harus difahami dalam konteksnya
yang tepat dan latara belakang perjuangan Nabi.[5]
D.
Ayat Tentang Riba
Permasalahan riba
merupakan salah satu perkara muamalah (hubungan antar manusia) yang
diatur secara jelas di dalam al-Qur’an. Pembahasan riba di dalam al-Qur’an
tidak hanya terdapat disuatu tempat dan waktu turun saja, namun ia hadir
dibeberapa tempat serta terhadap turunya. Kondisi tersebut sama seperti ketika
Allah swt. mengharamkan minuman keras yang memabukan (khamr) di dalam
al-Qur’an.[6]
Setatus hukum riba
dalam islam (al-Qur’an) juga terdapat pada beberapa surat dan ayat yang
terpisah yang turun secara bertahap. Selain itu, ayat-ayat yang turun tersebut
disertai juga dengan sebab atau alasan turunnya suatu ayat, atau disebut sabab
al-nuzul (persoalan yang melatarbelakangi turunya ayat al-Qur’an).[7]
Ayat al-Qur’an yang
pertama kali turun (tahap pertama) yang membicarakan masalah riba
adalah surat ar-Rumm [30] ayat
Artinya: “Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan [umpamanya sesuatu yang diberikan
atau dihadiahkan kepada orang lain supaya orang lain member kepadanya balasan
yang lebih banyak dari apa yang telah diberikan; pengertian sesuatu dalam ayat
ini dinamakan tambahan dalam masalah muamalah][8]
agar dia menambah pada harta manusia [yakni orang-orang yang member itu,
lafadz Yarbu artinya bertambah banyak], Maka riba itu tidak menambah pada
sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).”
Ayat diatas
memberikan pemahaman bahawa riba yang dikirakan memberikan tambahan pada harta
manusia. Ternyata di hadapan Allah swt. tidaklah demikian – justru orang yang
mengeluarkan zakat secara ikhlas demi mengharapkan ridha Allah lah yang akan
menerima pahala yang berlipat ganda. Nampak bahwa ayat tersebut tidak melarang
riba secara tegas, namun Allah memberikan alternative pembelanjaan keuangan
yang akan memberikan return lebih baik dan lebih banyak. Istilah riba di dalam
ayat tersebut juga dipahami berbeda oleh para ulama, ada yang memahaminya
sebagai riba yang dilarang syariat. Adapula yang berpendapat berupa pemberian
hadiah yang mengharapkan balasan yang lebih besar. Dan juga Dalam ayat ini
hanya menggambarakan adanya unsure negative dari riba.
Dalam qur’an surat
ar-Rumm: 39 kata riba ditulis dengan huruf tanpa wawu [الربا], sedangkan dalam ayat-ayat lain menggunakan wawu [الربو]. Pakar ilmu al-Qur’an az-Zarkasyi berpendapat bahwa perbedaan
penulisan itu sebagai indicator tentang perbedaan maknanya, artinya menurut
az-Zarkasyi ayat ini memberikan pengertian bahwa riba ini adalah halal
[hadiah], sedangkan yang lainya adalah riba haram.[9]
Tahap kedua dari
penetapan status hukum riba adalah dengan turunya ayat 160-161 surat an-Nisa
Artinya: “Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan
riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Ayat ini
menjelaskan bahaw riba merupakan sebuah amalan yang sejak dahulu dilakukan oleh
orang-orang Yahudi, padahal Allah telah melarangnya dalam kitab Taurat akan
tetapi mereka berbuat kezaliman[10].
Tahap ketiga adalah
pelarangan umat islam memungut riba yang berlipat ganda, sebagaimana terdapat
dalam qur’an surat Ali Imron [3]: 130.
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[11]
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Asbabul Nuzul
ayat di atas adalah kebiasaan kaum. menurut Faryabi dari Mujahid, katanya:
“Mereka biasa berjual beli hingga waktu tertentu. Jika waktu itu telah sampai,
mereka tambah harganya dan perpanjang waktunya. Maka turunlah ayat di atas. Dan
juga diketengahkan pula dari Atha’ katanya: suku Tsaqif biasa berutang kepada
bani Nadzir di masa jahiliyah, maka jika telah jatuh temponya, mereka katakana:
kami beri tahu tambahan, asal saja kamu perpanjang waktu pembayaranya. Maka
turunlah ayat ini.[12]
Asbabul nuzul ayat ini adalah
tingkah seorang penjual yang biasa transaksi jual beli dangan tidak tunai.
Dimana jika pembeli tidak bisa membayar maka akan ditambah waktunya dan
harganya. Sehingga lama kelamaan harga itu bisa berlipat ganda. Dengan demikian
Allah mengharamkan karena merugikan pihak-pihak tertentu. Namun demikian, Ayat
ini merupakan ayat yang paling krusial dalam memahami masalah riba, yaitu
terkait dengan pernyataan, “riba yang berlipat ganda”. Di dalam ayat tersebut
secara tegas dilarang pemungutan riba secara berlipat ganda. Permasalahan yang
muncul kemudian adalah, apakah riba itu selalu berlipat ganda? Apakah tambahan
(dari pokok pinjaman) yang tidak berlipat ganda disebut juga riba? Apakah
karena itu setiap tambahan dilarang dalam islam. Pertanyan-pertanyaan itulah
sejak masa lalu hingga kini diperselisihkan dikalangan para ulama dan pemikir
muslim dunia.
Tahap
keempat (terakhir) pembahasan riba di dalam al-Qur’an terdapat disurat
al-Baqarah [2]: 275-276
Artinya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba [Mengambilnya, dan riba ialah
tambahan dalam muamalat dengan uang dan bahan makanan, baik mengenai banyaknya
maupun mengenai waktunya] tidak dapat berdiri [dari kubur-kubur mereka]
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang
Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil
riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”[13]
Ayat
selanjutnya berbunyi;
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan
rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Ayat 278-279 surat al-Baqarah di atas
merupakan kelompok yang terakhir berbicara tentang riba yang dilakukan antara
penduduk mekkah dengan penduduk Tha’if.[14]
Beberapa kandungan pokok kelompok ayat-ayat di surat al-Baqarah tersebut antara
lain:
1. Orang yang memakan riba sama seperti orang yang kesetanan
sehingga ia tidak dapat membedakan hal yang baik dan buruk. Karena itu mereka
menyamakan antara jual beli dan riba, padahal Allah menegaskan bahwa riba itu
haram, sedangkan jual beli halal.
2. Allah berkehendak memusnahkan riba karena berbagai dampak
buruk yang ditimbulkannya, kemudian akan diganti dengan sedekah yang bermanfaat
dan memperdayakan umat.
3. Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bertaqwa
kepada-Nya dan meninggalkan sisa-sisa riba yang belum dipungut. Dalam hal ini,
orang-orang pernah meminjamkan uang kepada orang lain, hanya berhak mengambil
pokok bagian hartanya (yang dipinjamkan). Apabila mereka melaksanakannya, maka
tidak aka nada yang dianiaya maupun menganiaya. Apabila perintah tersebut tidak
dilaksanakan, maka Allah memeranginya.
4. Al-Qur’an mengajarkan agar orang yang meminjamkan uangnya
kepada orang lain mau memberikan tenggang waktu pelunasan ketika si peminjam
mengalami kesulitan dalam mengembalikan pinjaman benar-benar tidak mampu
mengembalikan, maka menyedekahkan sebagian atau seluruh pinjaman merupakan
sebuah kebaikan di sisi Allah swt. Pengembalian pinjaman hanya sebesar pokok
pinjaman yang diberikan sehingga terhindar dari tindakan menganiaya.
Pada
bagian akhir ayat 280 terdapat dua pernyataan yang sangat penting, yaitu (1) maka
bagimu pokok hartamu, (2) kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.
Pernyataan pertama menegaskan bahwa orang yang meminjamkan uang kepada orang
lain dianjurkan untuk hanya meminta kembali pokok pinjaman yang diberikan,
tanpa meminta tambahan apapun.[15]
Sebab turunya surat al-Baqarah: 278
yang diketgengahkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu Mandah, dari jalur
al-Kalibiy dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas, katanya: “kami dapat berita bahwa
ayat ini turun pada Bani Amr bin Auf dari suku Tsaqif. Tatkala Mekkah
dikuasakan Allah kepada RasulNya, maka ketika itu seluruh riba dihapuskan. Maka
datanglah Bani Mughirah: ‘tidakkah kami jadikan secelaka-celaka manusia
mengenai riba, karena terhadap semua manusia dihapuskan, tetapi pada kami
tidak?’ Jawab Bani Amr: ‘dalam perjanjian damai diantara kami disebutkan bahwa
kami tetap memperoleh riba kami.” Atab pun mengirimkan surat kepada Nabi saw
mengenai hal itu, maka turunlah ayat ini dan ayat berikutnya.
Diketengahkan oleh Ibnu Jarir, dari
Ikrimah, katanya: ayat ini turun mengenai suku Tsaqif, diantara mereka Masud,
Habib, Tabiah dan Abu Yalail, serta Bani Amr dan Bani Umair.
Pada tahap akhir pengaharaman riba yang
secara keseluruhan dengan adanya kalimat “tinggalkanlah sisa-sisa riba”. Yang
artinya riba baik kecil maupun yang berlipat ganda sama-sama diharamkan oleh
Allah.
E.
Hadis
Tentang Riba
Telah
mafhum disepakati umat islam bahawa dasar hukum islam yang utama adalah
al-Qur’an yang kemudian diikuti oleh sunnah Rasulallah Muhammad saw. Sunnah
rasul yang dimaksud dapat dilacak dan ditemui di dalam hadis-hadis yang telah
dikumpulkan, diseleksi dan disusun oleh para ulama hadis termasyhur. Penggunaan
sunnah rasul sebagai dasar hukum kedua dalam Islam namapak dalam kisah ketika
Rasulallah saw. Mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, Rasul bersabda: “Bagaimana
kamu memutuskan suatu hukum ketika kamu diminta untuk menentukan suatu
keputusan?” Jawab Muadz “aku memutuskan dengan kitab Allah”. Rasulallah
bertanya. “jika kamu tidak menemukan di dalam kitab Allah” Muadz menjawab
“Dengan sunnah Rasulallah”.
Hadis
yang berkaitan riba akan disajikan sehingga bisa memperjelas dari ayat-ayat
al-Qur’an yang terdahulu. Diantara hadis-hadinya adalah:
1) Hadis Nabi:
لعن رسول الله ص.م اكل
الرّبا و موكله و كاتبه و شاهيه : و هم سواء
Artinya:
Rasulallah saw telah melaknat pemakan riba, orang yang mewakilkan, penulis, dua
saksinya. Dan beliau bersabda: kedudukan mereka sama. (HR. Muslim)
2) Hadis Nabi:
اجتنبوا
السبع الموبقات . قالوا يارسول الله و ما هن ؟ قال : الشرك بالله و السحرو و قتل
النفس التى حرم الله الا بالحق و اكل الربا و اكل مال اليتيم و التولى يوم الزحف و قدف المحصنات الغافلات المومنات
Artinya:
Hindarilah
perkara tujuh yang membinasakan: Syirik pada Allah, sihir, membunuh orang yang
diharamkan oleh Allah kecuali ada alasan menurut ajaran agama, memakan riba,
memakan harta anak yatim, berpaling mundur diwaktu perang dan menuduh berzina
kepada wanita yang mempunyai suami mu’min.
3) Abdullah bin Handholah berkata; Rasulallah saw bersabada:
درهم ربا ياكله الرجل و
هو يعلم اشد عند الله من ستة و ثلاثين زنية
Artinya:
Satu
dirham yang diperoleh dari riba, lantas digunakan membeli makanan bagi seorang
lelaki sedang ia mengetahuinya adalah lebih buruk bagi Allah dari tiga puluh
enam kali perzinaan. (HR. Ahmad dan Thabrani)
4) Ada seorang sahabat lelaki berkata; Rasulallah saw pernah
memberikan khutbahnya kepada kami, lantas menyinggung masalah riba dan
menganggapnya masalah besar, lalu bersabda.[16]
ان الدرهم يصيبه الرجل
من الربا اعظم عند الله فى الخطيئة من ستة و ثلاثين زنية يزنيها الرجل
Artinya:
Sesungguhnya
satu dirham yang diperoleh seorang lelaki dari riba adalah lebih besar
kesalahanya di sisi Allah dari pada tiga puluh enam kali perzinaan yang
dilakukanya. (HR. Ibnu Abiddunya dan Al-Baihaqi)
5) Rasulallah bersabda:
الربا ثلاثة و سبعون
بابا ايسرها مثل اينكح الرجل امّهُ
Artinya:
Riba
itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan dosanya seperti
seorang lelaki bersetubuh dengan ibunya. (HR. Al-Hakim)
F. KESIMPULAN
Tafsir adalah
penjelasan tentang arti dan maksud firman-firman Allah SWT yang tercantum dalam
al-Qur’an sesuai dengan kamampuan manusia yang telah memiliki seperangkat
syarat-syarat tertentu.
Al-Qur’an yang
bersifat sahih li-kulli zaman wa makan (sesuai dengan segala waktu dan
tempat) selalu mengundang problem interpretasi: ada yang memahami dan
menafsirkan secara literal ada pula yang memahami secara kontekstual, memahami
sesuai dengan pesan dan spirit al-Qur’an. Alternative penafsiran modern
al-Qur’an harus dilakukan dengan pendekatan multi disipliner (menggunakan analisis
semantic, historis, dan perkembangan sosio-kultur). Konsep riba dalam al-Qur’an
dan Hadis sejara qathi haram entah riba kecil maupun riba berlipat
ganda.
DAFTAR PUSTAKA
al-Mahalli, Imam
Jalaluddin dan Imam Jalaluddin as-Suyuhti. Tafsir Jalalain, terj. Bahrun
Abu Bakar, Cet. 10. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004, Jilid: I dan III.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Maraghi, terj. Anshori Umar,
Hary NK dan Abu Bakar .Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992.
al-Malybari, Zainuddin Ibnu Abdul Aziz. Irsadul Ibad, terj.
Mahrus Ali. Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.
Shihab, M. Quraish. ‘Kata Pengantar’ pada Shaikh Muhammad al-Ghazali, Studi
Kritis Atas Hadis. Bandung: Mizan, 1994.
Shihab, M. Quraish. Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati,
2004
________________. “Tafsir dan Modernisasi” dalam Ulumul Qur’an, Vol. II
dan No. 8, 1991.
Syufa’at. “Metode Tafsir Kontemporer” dalam Al-Manahij, Vol. I
dan No. 1, Jurusan Syari’ah STAIN Purwokerto, 2007.
W, Muhammad Ghafur. Memahami Bunga dan Riba Ala Muslim Inonesia. Yogyakarta:
Biruni Press, 2008.
Zuri, Muh. Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan: sebuah
Titikan Antisipatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997.
[1]
Syufa’at, “Metode Tafsir Kontemporer” dalam Al-Manahij, Vol. I dan No. 1,
Jurusan Syari’ah STAIN Purwokerto, 2007. hlm. 28-29.
[2]
M. Quraish Shihab, “Tafsir dan Modernisasi” dalam Ulumul Qur’an, Vol. II dan
No. 8, 1991, hlm. 36.
[3]
Syufa’at, “Metode Tafsir Kontemporer”…hlm. 30.
[4]
M. Quraish Shihab, ‘Kata Pengantar’ pada Shaikh Muhammad al-Ghazali, Studi
Kritis Atas Hadis (Bandung: Mizan, 1994), hlm.37.
[5]
Fazlur Rahman dalam Syufaat, “Metode Tafsir Kontemporer”…hlm. 33.
[6]
Muhammad Ghafur W, Memahami Bunga dan Riba Ala Muslim Inonesia (Yogyakarta:
Biruni Press, 2008), hlm. 15.
[7]
Muh. Zuri, Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan: sebuah Titikan
Antisipatif (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hlm.57.
[8]
Imam Jalaluddin al-Mahalli
dan Imam Jalaluddin as-Suyuhti, Tafsir Jalalain, terj. Bahrun Abu Bakar,
Cet. 10 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), III. 1728.
[9]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, Cet.
II (Jakarta: Lentera Hati, 2004), II. 73.
[10]
Imam Jalaluddin al-Mahalli
dan Imam Jalaluddin as-Suyuhti, Tafsir Jalalain...I. 406.
[11] Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. menurut
sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya Haram, walaupun tidak
berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah
pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah
penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak
jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran
emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam
ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat
Arab zaman Jahiliyah.
[12]
Imam Jalaluddin al-Mahalli
dan Imam Jalaluddin as-Suyuhti, Tafsir Jalalain...I. 312-313.
[13]
Ibid..hlm. 158. Bandingkan Ahmad
Mustafa al-Maraghi, Tafsir Maraghi, terj. Anshori Umar, Hary NK dan Abu
Bakar (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992), III. 72.
[14]
Muh. Zuri, Riba…hlm.66-69.
[15]
Muhammad Ghafur W, Memahami Bunga…hlm.19-20.
[16]
Zainuddin Ibnu Abdul Aziz Al-Malybari, Irsadul Ibad, terj. Mahrus Ali
(Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 566.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar